Sabtu, 02 Maret 2013

EPILEPSI/PENYAKIT AYAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Epilepsi atau penyakit ayam merupakan manifestasi klinis berupa muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang berulang.  Lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan mendadak, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dalam/dari otak ke bagian-bagian lain dalam tubuh terganggu.
Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi. Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi bukan termasuk penyakit menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yang diakibatkan “ilmu klenik”, dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Umumnya ayan mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala, pitam otak (stroke), tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, ayan mungkin juga karena genetika, tapi ayan bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.      Apa definisi dari penyakit epilepsi?
2.      Apa penyebab epilepsi?
3.      Apa saja klasifikasi dari penyakit epilepsi?
4.      Bagaimana patofisiologi dari epilepsi?
5.      Bagaimana pengobatan epilepsi?
6.      Bagaimana proses keperawatannya ?
C.    Tujuan
1.      Untukmengetahuidefenisidaripenyakitepilepsi
2.      Untukmengetahuipenyebabdaripenyakitepilepsi
3.      Untukkmengetahuiklasifikasidaripenyakitepilepsi
4.      Untukmengetahuibagaimanapatofisiologidariepilepsi
5.      Untukmengetahuipengobatandariepilepsy
6.      Untuk mengetahui proses keperawatan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum).
Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:
·      Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
·      Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya
·      Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologi dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan1
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuronotak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik(Baiquni, 2010).

B.     PENYEBAB
Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1.         Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya
2.         Epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1.         Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
2.         Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3.         Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4.         Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5.         Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6.         Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
7.         Penyakit seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

C.    KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.

Data 1. Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981) adalah
Bangkitan parsial
1.    Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a.    Dengan gejala motorik
b.    Dengan gejala sensorik
c.    Dengan gejala otonomik
d.   Dengan gejala psikik
2.    Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)[1]
a.    Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguankesadaran
·      Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
·      Dengan automatisme
b.    Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
·      Dengan gangguan kesadaran saja
·      Dengan automatisme
3.    Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a.    Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b.    Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c.    Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsialkompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1.    Bangkitan lena
Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2.    Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis. Biasanay tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
3.    Bangkitan tonik
Tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Biasanya  kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4.    Bangkitan atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka.
5.    Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aoleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini di ikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit samapai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Seranagan ini bisa berfariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
6.    Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag klasik epilepsi seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan taua pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat.
Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Data 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma
Localization-related (focal, partial) epilepsies
1.      Idiopatik
a.    Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
b.    Childhood epilepsy with occipital paroxysm
2.      Symptomatic
a.    Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkanlokasi anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis,tipe kejang predominan, EEG interiktal dan iktal, gambaranneuroimejing.
b.    Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umumsekunder berasal dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital,fokus multipel atau fokus tidak diketahui.
c.    Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
Epilepsi Umum
1.      Idiopatik
a.    Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
b.    Benign myoclonic epilepsy in infancy
c.    Childhood absence epilepsy
d.   Juvenile absence epilepsy
e.    Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
f.     Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
g.    Other generalized idiopathic epilepsies
2.      Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
a.    West’s syndrome (infantile spasms)
b.    Lennox gastaut syndrome
c.    Epilepsy with myoclonic astatic seizures
d.   Epilepsy with myoclonic absences
3.      Simtomatik
a.    Etiologi non spesifik
b.    Early myoclonic encephalopathy
c.    Specific disease states presenting with seizures
D.    PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-[2]neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Anonim, 2009).
1.    Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jarak thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkodeprotein kanal ion (pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrileseizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Kanal
Gen
Sindroma
Voltage-gated
Kanal Natrium
SCN1A, SCN1B
SCN2A, GABRG2
Generalized epilepsies with febrile seizures plus
Kanal Kalium
KCNQ2, KCNQ3
Benign familial neonatal convulsions
Kanal Kalsium
CACNA1A, CACNB4
ACNA1H
Episodic ataxia tipe 2
Childhood absence epilepsy
Kanal Klorida
CLCN2
Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin
CHRNB2, CHRNA4
Autosomal dominant frontal lobe epilepsi
Reseptor GABA
GABRA1, GABRD
Juvenile myoclonic epilepsy
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6CLCLig
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi padakanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimanaterdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihandan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (Octaviana, 2009)
2.    Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar (Sudir Purba, 2008)
E.     PENGOBATAN
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa menimbulkan efek samping.  Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita. Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal. Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat serat-serat saraf yang menghubungkan kedua sisi otak (korpus kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi (Anonim, 2009).
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie-pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblokloncatan listrik.Beberapa studi membuktikanbahwa obat antiepilepsi selain mempunyaiefek samping, juga bisa berinteraksidengan obat-obat lain yangberefek terhadap gangguan kognitifringan dan sedang. Melihat banyaknyaefek samping dari obat antiepilepsimaka memilih obat secaratepat yang efektif sangat perlu mengingatbahwa epilepsi itu sendiri berefekpada kerusakan atau cedera terhadapjaringan otak.
Glutamat salahsatunya yang berpotensi terhadapkerusakan neuron sebagai aktivatorterhadapreseptor NMDA dan reseptoralpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptorNMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masukkedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbarumerupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun carakerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetamadalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatandengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanismeberbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan denganreceptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Padahewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasidengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yangmenimbulkan efek sebagai antiepilepsi.Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakanpada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentrallainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyatalevetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya.Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsanadalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam denganprotein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikelprotein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyaiikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusianmolekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbuktipada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analogdengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan (Sudir Purba, 2008).
F.    PENCEGAHAN
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
G.  PROSES KEPERAWATAN
A.    Pengkajian
1)      Data fokus yang perlu dikaji
a.       Biodata :Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, danpenanggungjawabnya.
b.      Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
c.    Riwayat Kesehatan
1)   Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
2)   Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan )
3)   Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik)
4)   Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik maupun tidak
5)   Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
d.   Pemeriksaan Fisik
1)        Keadaan umum
2)        Pemeriksaan Persistem
a.         Sistem Persepsi dan Sensori
                                Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu posisi/keduanya
b.        Sistem Persyarafan
*   Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik, klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai
*   Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer, luka gores)
c.       Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam)
d.      Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e.       Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f.       Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g.      Sistem Reproduksi
h.      Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
e.       Pola Fungsi Kesehatan
1)        Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
               Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien, keamanan lingkungan sekitar
2)        Pola Aktivitas dan Latihan
               Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera pada saat serangan)
3)      Pola Nutrisi Metabolisme
                        Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
4)      Pola Eliminasi
                        Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5)      Pola Tidur dan Istirahat
                        Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6)      Pola kognitif dan Perseptual
                        Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7)      Persepsi diri atau konsep diri
                        Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8)      Pola toleransi dan koping stress
                        Adakah stress dan gangguan emosi
9)      Pola sexual reproduksi
10)  Pola hubungan dan peran
11)  Pola nilai dan kenyakinan.
2)      Analisis data
Data
Etiologi
Masalahkeperawatan
DS:
DO: pasien kejang (kaki menendang- nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi terkunci, lidah menjulur

perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol

Resiko cedera
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis

gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi

Bersihan jalan napas tidak efektif
DS: terjadi aura (mendengar bunyi yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat sesuatu), halusinasi, perasaan bingung, melayang2.
DO: penurunan respon terhadap stimulus, terjadi salah persepsi

Terjadi depolarisasi berlebih
Bangkitan listrik di bagian otak serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ sensori persepsi

Gangguan persepsi sensori
DS: klien terlihat rendah diri saat berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri

Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit epilepsi atau ”ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri

Isolasi sosial
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas cepat atau tidak teratur

Terjadi kejang epilepsi
Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit
Bingung

Ansietas
DS: pasien mengeluh sesak
DO: RR meningkat dan tidak teratur,

Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas

Ketidakefektifan pola napas
DS: klien merasa lemas, klien mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi, takipnea,

terjadi bangkitan listrik di otak
menyebar ke MO
mengganggu pusat kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas


Intoleransi aktivitas
DS: pasien menunjukkan kelelahan, diam, tidak banyak bergerak
DO: penurunan kesadaran, penurunan kemampuan persepsi sensori, tidak ada reflek
CO menurun
Suplai darah ke otak berkurang
Iskemia jaringan serebral (O2 tidak adekuat)

Resiko penurunan perfusi serebral


B.     Diagnosa keperawatan
1)      Resiko cedera berhubungandengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2)       Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3)      Isolasi sosial berhubungandengan rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
4)      Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan dispnea dan apnea
5)      Intoleransi aktivitas berhubungandengan penurunan kardiac output, takikardia
6)      Gangguan persepsi sensori berhubungandengan gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7)      Ansietas berhubungandengan kurang pengetahuan mengenai penyakit
8)      Resiko penurunan perfusi serebral berhubungandengan penurunan suplai oksigen ke otak
C.    Rencana keperawatan
1)      Diagnosa keperawatan : Resiko cedera berhubungandengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh

Intervensi
Rasional
Observasi:
a.       Identivikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
b.      Pantau status neurologis setiap 8 jam
Mandiri
a.       Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
b.      Pasang penghalang tempat tidur pasien
c.       Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
d.      Tinggal bersama pasien dalam waktu beberapa lama setelah kejang
e.       Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang
f.       Tanyakan pasien bila ada perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang
Kolaborasi:
 Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Edukasi:
a.       Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
b.      Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang

a.    Barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
b.   Mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang diharapkan
a.    Mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
b.   Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
c.    Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada pasien
d.   Memberi penjagaan untuk keamanan pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
e.    Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
f.    Untuk mengidentifikasi manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien

Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke otak

a.       Sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
b.      Melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
2)      Diagnose keperawatan  : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan :jalan nafas menjadi efektif
Kriteria :nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada dispnea
Intervensi
Rasional
Mandiri
a.       Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi tanpa ditandai gejala awal.
b.      Letakkan pasien dalam posisi miring, permukaan datar
c.        Tanggalkan pakaian pada daerah leher / dada dan abdomen
d.      Melakukan suction sesuai indikasi
Kolaborasi
a.       Berikan oksigen sesuai program terapi

a.       menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
b.      meningkatkan aliran (drainase) sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
c.       untuk memfasilitasi usaha bernafas / ekspansi dada
d.      Mengeluarkan mukus yang berlebih,  menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.

a.   Membantu memenuhi kebutuhan oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler selama serangan kejang.
3)      Diagnose keperawatan :Isolasi sosial berhubungandengan rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
*      adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
*      menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi
Rasional
Observasi:
a.       Identifikasi dengan pasien, factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Mandiri
a.       Memberikan dukungan psikologis dan motivasi pada pasien
Kolaborasi:
a.       Kolaborasi dengan tim psikiater
b.      Rujuk pasien/ orang terdekat pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya.


Edukasi:
a.       Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien
b.      Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular

a.       Memberi informasi pada perawat tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
a.       Dukungan psikologis dan motivasi dapat membuat pasien lebih percaya diri

a.       Konseling dapat membantu mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
b.      Memberikan kesempatan untuk mendapatkan informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.

a.       Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
b.      Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).


D.    Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien.

E.     Evaluasi
Hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1)      Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2)      Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3)      Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri (minder)
4)      Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5)      Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari secara normal
6)      Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7)      Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8)      Status kesadaran pasien membaik






BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
·         Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
·         Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya dan Epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
·         Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
·         Patofisiologi ada dua yaitu patofisiologi anatomi umum dan patofisiologi anatomi seluler
·         Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
·         Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan
·         Proses keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa , perencanaan, implementasi dan evaluasi
B.     Saran
Disadari  pula bahwa  makalah  ini bukanlah hasil  karya seorang  profesional, sehingga tentu  saja  masih  banyak memiliki  kekurangan-kekurangan  di dalamnya  baik  dari  segi  metode  penyusunan  maupun dari segi materinya yang belum sempurna yang masih  jauh  dari  harapan  kita. Oleh  karena  itu,  penyusun  berharap adanya  saran dan kritik dari  para pembaca  demi  kesempurnaan  karya ini dan  karya-karya selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Epilepsi. http://medicafarma.blogspot.com/. diakses 16oktober 2012
Baiquni, mulki.2010. Patofisiologi Epilepsi.
http://www.scribd.com/doc/37947482/patofisiologi-epilepsi. diakses 17 oktober 2012
Oktaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Medicinus Scientific Journal ofPharmaceutical Development and Medical applicationVol. 2,No.4 Edisi  November - Desember 2008.
Sudir Purba, Jan. 2008. Epilepsi:Permasalahan di ReseptoratauNeurotransmitter.Medicinus Scientific Journal of PharmaceuticalDevelopment and Medical applicationVol. 2,No.4 Edisi  November - Desember 2008.



[1] (Anonim, 2009).

[2](Octaviana, 2008).

0 komentar: