BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Epilepsi atau penyakit ayam merupakan manifestasi klinis berupa
muatan listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang
berulang. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan dan mendadak, sehingga
penerimaan serta pengiriman impuls dalam/dari otak ke bagian-bagian lain dalam
tubuh terganggu.
Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit
epilepsi. Akibatnya, penderita epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi
bukan termasuk penyakit menular, bukan penyakit jiwa, bukan penyakit yang
diakibatkan “ilmu klenik”, dan bukan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Umumnya ayan mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses
kelahiran, luka kepala, pitam otak (stroke), tumor otak, alkohol.
Kadang-kadang, ayan mungkin juga karena genetika, tapi ayan bukan penyakit
keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.
Apa
definisi dari penyakit epilepsi?
2.
Apa
penyebab epilepsi?
3.
Apa saja
klasifikasi dari penyakit epilepsi?
4.
Bagaimana
patofisiologi dari epilepsi?
5.
Bagaimana
pengobatan epilepsi?
6.
Bagaimana
proses keperawatannya ?
C.
Tujuan
1.
Untukmengetahuidefenisidaripenyakitepilepsi
2.
Untukmengetahuipenyebabdaripenyakitepilepsi
3.
Untukkmengetahuiklasifikasidaripenyakitepilepsi
4.
Untukmengetahuibagaimanapatofisiologidariepilepsi
5.
Untukmengetahuipengobatandariepilepsy
6.
Untuk
mengetahui proses keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu
gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan.
Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau
fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum).
Epilepsi
merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis
di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat
dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau
keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan
epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League
Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE)
pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak
yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai
tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron
yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:
· Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
· Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
· Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif,
psikologi dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan1
Epilepsi adalah sindroma otak kronis
dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal
dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuronotak secara berlebihan
dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik(Baiquni, 2010).
B. PENYEBAB
Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1.
Epilepsi primer atau
epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya
2.
Epilepsi sekunder atau
simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga
terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf
pada area jaringan otak yang abnormal.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau
akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan
karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak
pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1.
Kelainan yang terjadi
selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu
yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami
cidera.
2.
Kelainan yang terjadi
pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia),
kerusakan karena tindakan.
3.
Cidera kepala yang dapat
menyebabkan kerusakan pada otak
4.
Tumor otak merupakan
penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5.
Penyumbatan pembuluh
darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6.
Radang atau infeksi pada
otak dan selaput otak
7.
Penyakit seperti fenilketonuria
(FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang
yang berulang.
C. KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan
epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi
berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi
(simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan
bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi
berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Data 1. Klasifikasi
internasional bangkitan epilepsi (1981) adalah
Bangkitan parsial
1. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)[1]
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguankesadaran
· Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
· Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
· Dengan gangguan kesadaran saja
· Dengan automatisme
3. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsialkompleks,
dan berkembang menjadi bangkitan umum
Bangkitan Umum
(Konvulsi atau Non-Konvulsi)
1. Bangkitan lena
Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi
secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik,
di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau
mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang
waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2. Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat
dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis. Biasanay
tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
3. Bangkitan tonik
Tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba
meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas.
Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa
menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4. Bangkitan atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh.
Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut
lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta
mendapatkan luka-luka.
5. Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aoleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan
ini di ikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit samapai beberapa menit yang
sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Seranagan ini
bisa berfariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke
satu saat lain.
6. Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag
klasik epilepsi seranagn ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan taua
pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan kesadaran secara
cepat.
Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan
Data 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma
Localization-related
(focal, partial) epilepsies
1.
Idiopatik
a. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
b. Childhood epilepsy with occipital paroxysm
2.
Symptomatic
a. Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkanlokasi
anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis,tipe kejang predominan,
EEG interiktal dan iktal, gambaranneuroimejing.
b. Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umumsekunder
berasal dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital,fokus multipel atau
fokus tidak diketahui.
c. Localization related tetapi
tidak pasti simtomatik atau idiopatik
Epilepsi Umum
1.
Idiopatik
a. Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
b. Benign myoclonic epilepsy in infancy
c. Childhood absence epilepsy
d. Juvenile absence epilepsy
e. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
f. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
g. Other generalized idiopathic epilepsies
2.
Epilepsi
Umum Kriptogenik atau Simtomatik
a.
West’s
syndrome (infantile spasms)
b.
Lennox
gastaut syndrome
c.
Epilepsy
with myoclonic astatic seizures
d.
Epilepsy
with myoclonic absences
3.
Simtomatik
a. Etiologi non spesifik
b. Early myoclonic encephalopathy
c. Specific disease states presenting with seizures
D. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni
membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler
dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat
kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan
keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi
ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan
badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran
neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron
lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-[2]neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter
inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin.
Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi
impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila
potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membrane neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca
dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak
teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar
neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas
serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh
proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar
sarang epileptic. Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik
yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak (Anonim, 2009).
1. Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi
umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi
tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8
tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan
aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke
normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai
absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan
korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jarak
thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan
aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada
korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi
yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi
sebagian besar pada gen yang mengkodeprotein kanal ion (pada tabel berikut). Contoh:
Generalized epilepsy with febrileseizure plus, benign familial neonatal
convulsions.
Kanal
|
Gen
|
Sindroma
|
Voltage-gated
|
||
Kanal Natrium
|
SCN1A, SCN1B
SCN2A, GABRG2
|
Generalized epilepsies with febrile seizures plus
|
Kanal Kalium
|
KCNQ2, KCNQ3
|
Benign familial neonatal convulsions
|
Kanal Kalsium
|
CACNA1A, CACNB4
ACNA1H
|
Episodic ataxia tipe 2
Childhood absence epilepsy
|
Kanal Klorida
|
CLCN2
|
Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Epilepsy with grand mal seizure on awakening
|
Ligand-gated
|
||
Reseptor asetilkolin
|
CHRNB2, CHRNA4
|
Autosomal dominant frontal lobe epilepsi
|
Reseptor GABA
|
GABRA1, GABRD
|
Juvenile myoclonic epilepsy
|
Tabel
3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6CLCLig
Pada kanal ion yang
normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan
keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi
dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi padakanal Na
seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus,
maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap
seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi
pada benign familial neonatal convulsion dimanaterdapat mutasi kanal
kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihandan menyebabkan
hipereksitasi pada sel neuron (Octaviana, 2009)
2. Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik,
bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak,
infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental
problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik
maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron
yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis.
Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa
juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi
lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa
menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi
molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun
fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa
disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke
sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di
post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat
(NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara
farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa
faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate
(sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate
(kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis
yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik
subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat
reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang
dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan
atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga
terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam
kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa
neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal
sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang
masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di
hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses
belajar (Sudir Purba, 2008)
E. PENGOBATAN
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang
abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan
tersebut sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan.
Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka
diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan. Sekitar
sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami
1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami
kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat
anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa menimbulkan efek
samping. Salah satu diantaranya adalah
menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas.
Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan
sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian
obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan
dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi
serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak
terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang
bantal di bawah kepala penderita. Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya
posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan
sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal. Jika
ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan untuk
mengangkat serat-serat saraf yang menghubungkan kedua sisi otak (korpus
kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengatasi epilepsi
atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi (Anonim, 2009).
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok
inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie-pilepsi yang dikenal sampai sekarang
ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam
(Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin
(Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital
(Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril),
topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter,
1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi
benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin
bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam
memblokloncatan listrik.Beberapa studi membuktikanbahwa obat antiepilepsi
selain mempunyaiefek samping, juga bisa berinteraksidengan obat-obat lain
yangberefek terhadap gangguan kognitifringan dan sedang. Melihat banyaknyaefek
samping dari obat antiepilepsimaka memilih obat secaratepat yang efektif sangat
perlu mengingatbahwa epilepsi itu sendiri berefekpada kerusakan atau cedera
terhadapjaringan otak.
Glutamat salahsatunya yang berpotensi terhadapkerusakan neuron sebagai
aktivatorterhadapreseptor NMDA dan reseptoralpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic
acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptorNMDA dan AMPA akan
memperboleh-kan ion kalsium masukkedalam sel yang bisa menstimulasi kematian
dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbarumerupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun carakerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetamadalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatandengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanismeberbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan denganreceptor NMDA
dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Padahewan percobaan ditemukan bahwa potensi
levetirasetam berkorelasidengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2
yangmenimbulkan efek sebagai antiepilepsi.Dari data penelitian ditemukan bahwa
levetiracetam dapat digunakanpada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit
saraf sentrallainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena
ternyatalevetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya.Salah satu
andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsanadalah dengan
ditemukannya ikatan levetirasetam denganprotein SVA2. Dari beberapa penelitian
membuktikan bahwa vesikelprotein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein
yang mempunyaiikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusianmolekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbuktipada
hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analogdengan protein SVA2 di
vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan (Sudir Purba, 2008).
F. PENCEGAHAN
Upaya sosial
luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan
epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi
(konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak,
disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula
kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang
memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak
hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat
cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi
pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada
janin selama kehamilan dan persalinan.
Program
skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.
G. PROSES
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1) Data fokus
yang perlu dikaji
a.
Biodata :Nama
,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,
danpenanggungjawabnya.
b. Usia:
Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan
yang sering kali menimbulkan stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum
alcohol (alcoholic)
c.
Riwayat Kesehatan
1)
Keluhan utama: keluhan yang
dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
2)
Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat
penyakit yang diderita pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan )
3)
Riwayat kesehatan yang lalu: sejak
kapan serangan seperti ini terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi,
frekuensi serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur
emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau
makan obat-obat tertentu/alkoholik)
4)
Riwayat kesehatan keluarga: adakah
riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau
riwayat penyakit lain baik bersifat genetik maupun tidak
5)
Riwayat sebelum serangan: adakah
gangguan tingkah laku, emosi apakah disertai aktifitas atonomik yaitu
berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik
sensori, auditorik, olfaktorik
d.
Pemeriksaan Fisik
1)
Keadaan umum
2)
Pemeriksaan Persistem
a.
Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah
pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot sakit, adakah
halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata
dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah
lokasi atau sifatnya berubah pada satu posisi/keduanya
b.
Sistem Persyarafan


c.
Sistem Pernafasan: apakah terjadi
perubahan pernafasan (nafas yang dalam)
d.
Sistem Kardiovaskuler: apakah
terjadi perubahan denyut jantung
e.
Sistem Gastrointestinal: apakah
terjadi inkontinensia feses, nausea
f.
Sistem Integumen: adakah memar, luka
gores
g.
Sistem Reproduksi
h.
Sistem Perkemihan: adakah
inkontinensia urin
e.
Pola Fungsi Kesehatan
1)
Pola persepsi dan pemeliharaan
kesehatan
Pemahaman
pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien, keamanan lingkungan
sekitar
2)
Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang aktivitas
yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera pada saat serangan)
3)
Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya
pasien mengalami nansea
4)
Pola Eliminasi
Saat serangan dapat
terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5)
Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor
presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6)
Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan
orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7)
Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman
dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8)
Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan
gangguan emosi
9)
Pola sexual reproduksi
10) Pola
hubungan dan peran
11) Pola nilai
dan kenyakinan.
2) Analisis data
Data
|
Etiologi
|
Masalahkeperawatan
|
DS:
DO: pasien kejang (kaki menendang-
nendang, ekstrimitas atas fleksi), gigi geligi terkunci, lidah menjulur
|
perubahan aktivitas listrik di otak
Keseimbangan terganggu
gerakan tidak terkontrol
|
Resiko
cedera
|
DS: sesak,
DO:apnea, cianosis
|
gangguan nervus V, IX, X
lidah melemah
menutup saluran trakea
Adanya obstruksi
|
Bersihan
jalan napas tidak efektif
|
DS: terjadi aura (mendengar bunyi
yang melengking di telinga, bau- bauan, melihat sesuatu), halusinasi,
perasaan bingung, melayang2.
DO: penurunan respon terhadap
stimulus, terjadi salah persepsi
|
Terjadi depolarisasi berlebih
Bangkitan listrik di bagian otak serebrum
Menyebar ke nervus- nervus
Mempengaruhi aktivitas organ sensori persepsi
|
Gangguan
persepsi sensori
|
DS: klien terlihat rendah diri saat
berinteraksi dengan orang lain
DO:menarik diri
|
Stigma masyarakat yang buruk tentang penyakit
epilepsi atau ”ayan”
Klien merasa rendah diri
Menarik diri
|
Isolasi
sosial
|
DS: klien terlihat cemas, gelisah.
DO: takikardi, frekuensi napas
cepat atau tidak teratur
|
Terjadi kejang epilepsi
Kurang pengetahuan tentang kondisi
penyakit
Bingung
|
Ansietas
|
DS: pasien mengeluh sesak
DO: RR meningkat dan tidak teratur,
|
Terjadi bangkitan listrik di otak
Menyebar ke daerah medula oblongata
Mengganggu pusat respiratori
Mempengaruhi pola napas
|
Ketidakefektifan
pola napas
|
DS: klien merasa lemas, klien
mengeluh cepat lelah saat melakukan aktivitas
DO:takikardi, takipnea,
|
terjadi bangkitan listrik di otak
menyebar ke MO
mengganggu pusat kardiovaskular
takikardia
CO menurun
Suplai darah (O2) ke jaringan
menurun
metabolisme aerob menjadi anaerob
ATP dari 38 menjadi 2
kelelahan
intoleransi aktifitas
|
Intoleransi
aktivitas
|
DS: pasien menunjukkan kelelahan,
diam, tidak banyak bergerak
DO: penurunan kesadaran, penurunan
kemampuan persepsi sensori, tidak ada reflek
|
CO menurun
Suplai darah ke otak berkurang
Iskemia jaringan serebral (O2 tidak
adekuat)
|
Resiko
penurunan perfusi serebral
|
B.
Diagnosa
keperawatan
1)
Resiko cedera berhubungandengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2)
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3)
Isolasi sosial berhubungandengan rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat
4)
Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan dispnea dan apnea
5)
Intoleransi aktivitas berhubungandengan penurunan kardiac output, takikardia
6)
Gangguan persepsi sensori berhubungandengan gangguan pada nervus organ sensori persepsi
7)
Ansietas berhubungandengan kurang pengetahuan mengenai penyakit
8)
Resiko penurunan perfusi serebral berhubungandengan penurunan suplai oksigen ke otak
C.
Rencana
keperawatan
1)
Diagnosa keperawatan : Resiko cedera berhubungandengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat
mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi
cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
a.
Identivikasi factor lingkungan
yang memungkinkan resiko terjadinya cedera
b.
Pantau status neurologis setiap
8 jam
Mandiri
a.
Jauhkan benda- benda yang dapat
mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien saat terjadi kejang
b.
Pasang penghalang tempat tidur
pasien
c.
Letakkan pasien di tempat yang
rendah dan datar
d.
Tinggal bersama pasien dalam
waktu beberapa lama setelah kejang
e.
Menyiapkan kain lunak untuk
mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi kejang
f.
Tanyakan pasien bila ada
perasaan yang tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum kejang
Kolaborasi:
Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
Edukasi:
a.
Anjurkan pasien untuk memberi
tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, atau mengalami sesuatu yang
tidak biasa sebagai permulaan terjadinya kejang.
b.
Berikan informasi pada keluarga
tentang tindakan yang harus dilakukan selama pasien kejang
|
a.
Barang- barang di sekitar pasien
dapat membahayakan saat terjadi kejang
b.
Mengidentifikasi perkembangan
atau penyimpangan hasil yang diharapkan
a.
Mengurangi terjadinya cedera
seperti akibat aktivitas kejang yang tidak terkontrol
b.
Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
c.
Area yang rendah dan datar dapat
mencegah terjadinya cedera pada pasien
d.
Memberi penjagaan untuk keamanan
pasien untuk kemungkinan terjadi kejang kembali
e.
Lidah berpotensi tergigit saat
kejang karena menjulur keluar
f.
Untuk mengidentifikasi
manifestasi awal sebelum terjadinya kejang pada pasien
Mengurangi
aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat mengurangi suplai oksigen ke
otak
a.
Sebagai informasi pada perawat
untuk segera melakukan tindakan sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
b.
Melibatkan keluarga untuk
mengurangi resiko cedera
|
2) Diagnose
keperawatan : Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea,
peningkatan sekresi saliva
Tujuan :jalan
nafas menjadi efektif
Kriteria :nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada
dispnea
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
a.
Anjurkan klien untuk
mengosongkan mulut dari benda / zat tertentu / gigi palsu atau alat yang lain
jika fase aura terjadi dan untuk menghindari rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala awal.
b.
Letakkan pasien dalam posisi
miring, permukaan datar
c.
Tanggalkan pakaian pada
daerah leher / dada dan abdomen
d.
Melakukan suction sesuai
indikasi
Kolaborasi
a.
Berikan oksigen sesuai program
terapi
|
a.
menurunkan resiko aspirasi atau
masuknya sesuatu benda asing ke faring.
b.
meningkatkan aliran (drainase)
sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
c.
untuk memfasilitasi usaha
bernafas / ekspansi dada
d.
Mengeluarkan mukus yang
berlebih, menurunkan resiko aspirasi atau asfiksia.
a.
Membantu memenuhi kebutuhan
oksigen agar tetap adekuat, dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat
dari sirkulasi yang menurun atau oksigen sekunder terhadap spasme vaskuler
selama serangan kejang.
|
3)
Diagnose keperawatan :Isolasi sosial berhubungandengan rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat
Tujuan: mengurangi rendah diri
pasien
Kriteria hasil:


Intervensi
|
Rasional
|
Observasi:
a.
Identifikasi dengan pasien,
factor- factor yang berpengaruh pada perasaan isolasi sosial pasien
Mandiri
a.
Memberikan dukungan psikologis
dan motivasi pada pasien
Kolaborasi:
a.
Kolaborasi dengan tim psikiater
b.
Rujuk pasien/ orang terdekat
pada kelompok penyokong, seperti yayasan epilepsi dan sebagainya.
Edukasi:
a.
Anjurkan keluarga untuk memberi
motivasi kepada pasien
b.
Memberi informasi pada keluarga
dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular
|
a.
Memberi informasi pada perawat
tentang factor yang menyebabkan isolasi sosial pasien
a.
Dukungan psikologis dan motivasi
dapat membuat pasien lebih percaya diri
a.
Konseling dapat membantu
mengatasi perasaan terhadap kesadaran diri sendiri.
b.
Memberikan kesempatan untuk mendapatkan
informasi, dukungan ide-ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang
telah mempunyai pengalaman yang sama.
a.
Keluarga sebagai orang terdekat
pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien
b.
Menghilangkan stigma buruk terhadap
penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi dapat menular).
|
D.
Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan
kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama
pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama
melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien.
E. Evaluasi
Hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1) Pasien tidak
mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada
obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat
berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak menarik diri
(minder)
4) Pola napas
normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien
toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari
secara normal
6) Organ sensori
dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan normal
7) Ansietas
pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8)
Status kesadaran pasien membaik
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Epilepsi
adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang
berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE)
dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan
kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya.
·
Ditinjau dari penyebab
epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :Epilepsi primer atau epilepsi
idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya dan Epilepsi sekunder
atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
·
Epilepsi
dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe
bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
·
Patofisiologi
ada dua yaitu patofisiologi anatomi umum dan patofisiologi anatomi seluler
·
Obat-obatan biasanya
diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus
merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis
tinggi secara intravena.
·
Upaya sosial luas yang menggabungkan
tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi
muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma
atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian
tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan
B. Saran
Disadari pula bahwa
makalah ini bukanlah hasil karya seorang
profesional, sehingga tentu
saja masih banyak memiliki kekurangan-kekurangan di dalamnya
baik dari segi
metode penyusunan maupun dari segi materinya yang belum
sempurna yang masih jauh dari
harapan kita. Oleh karena
itu, penyusun berharap adanya saran dan kritik dari para pembaca
demi kesempurnaan karya ini dan
karya-karya selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, mulki.2010. Patofisiologi Epilepsi.
http://www.scribd.com/doc/37947482/patofisiologi-epilepsi. diakses 17 oktober 2012
Oktaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Medicinus Scientific Journal
ofPharmaceutical Development and Medical applicationVol. 2,No.4 Edisi November - Desember 2008.
Sudir Purba, Jan. 2008. Epilepsi:Permasalahan di ReseptoratauNeurotransmitter.Medicinus
Scientific Journal of PharmaceuticalDevelopment and Medical applicationVol. 2,No.4
Edisi November - Desember 2008.
0 komentar:
Posting Komentar