Perbedaan
“
Najwah Rahaya ” teriak Arnold
“
Rahaya Najwah, kenapa sih kamu suka balikin nama aku, emangnya kamu mau ganti
pake satu ekor kambing mau ? ini sudah ke delapan puluh lima kali kamu
balik-balikkin nama aku “ ujarku kesal
“
sorry Ray, kalo aku ganti kambing-kambing kamu, kamu harus nikah dong sama aku
“ balasnya
Kata-kata
Arnold membuatku tercengang, aku hanya diam. Apa dia sadar dengan apa yang dia
katakan ? Menikah ? tidak mungkin. Arnold sudah gila apa ? kenapa dia harus
mengungkit hal yang paling tidak ingin aku bahas. Kenapa saat seperti ini kamu
malah membahas hal yang sama sekali aku tidak ingin.
“
Raya, kamu tersinggung ” ucapnya
Aku
tak bergeming, takut menjawab. Bergegas aku berdiri, lalu meninggalkannya. Jujur
aku tidak mau membicarakan hal itu hal itu lagi. Tak perduli ia mengejarku,
terdengar suaranya masih memanggil namaku. Tapi aku tetap mempercepat langkahku
kembali ke asrama kampus.
* * *
Aku
membaringkan tubuhku diatas tempat tidur. Rasa takut kembali menyergapku. Tuhan
kenapa aku harus berusaha menyembunyikannya ? bukankah lebih baik jika kami
membicarakannya berdua ? Tapi bagaimana dengan Arnold ? Entahlah, yang aku
fikirkan saat ini hanya menghabiskan waktu untuk bisa bersamanya. Aku tau aku
tidak akan kuat menghadapi cobaan ini. Semuanya. Telfon genggamku berdering.
Aku meliriknya, tertulis nama Arnold.
“
iya ada apa ? “ ucapku malas
“
aku minta maaf ya Ray “ katanya di ujung sana
“
hm “
“
Raya, yang ikhlas dong “
“
iya, aku ikhlas maafin kamu “
“
kalo begitu, liat ke jendela dong “
“
memangnya ada apa ?”
“
liat saja “
Aku
beranjak dari tempat tidur, dan melihat di jendela kamar. Arnold !!!!!! pekikku
dalam hati, kenapa dia bawa kambing segala ? Arnold !!! awas kamu ya.
“
I Love You Ray….”
* * *
Pagi – pagi sekali Marinka mengetuk
pintuku, ia memberitahuku, kalo pagi
ini ada travelling sabtu ke tempat sejarah. Hm, untung dia membangunkanku,
kalau tidak aku pasti ketinggalan. Kebiasaan burukku tidur setelah subuh tak
bisa aku ubah, padahal Arnold sudah mengaungkannya ditelingaku beratus-ratus
kali. Arnold kenapa tiba-tiba aku teringat padanya ? sudahlah, aku akan menemui sore nanti.
“ Ray.. ayo dong ” ucap Marinka
“
iya, nih aku lagi ngunci pintu kamar…, nah udah ayo Mar.. ” kataku sambil mengamit tangannya.
Lapangan
kampus mulai dipadati mahasiswa. Semua mengantri dengar nomor bus yang sudah
ditentukan Pak Darman. Aku melirik ke setiap sudut lapangan. Mataku dengan jeli
memperhatikan semua mahasiswa. Aku sedang mencari Arnold, kemana dia ? apa dia
sengaja menghindar dariku ? Arnold.
Karena
tak melihat Arnold, tiba-tiba saja aku memikirkannya. Ada yang salah ya dari
sikapku kemarin padanya ? Sejenak kutundukkan kepalaku. Sudahlah kalau dia (memang) kebiasaan buruknya
selalu menghindar dan tiba-tiba menghilang
dariku. Dan lagipula tidak mungkin dia marah, karena yang seharusnya marah,
itu aku. Arnold, kamu kemana ? aku gelisah menantinya, aku menatap kedepan.
Kamu kemana ? haruskah kamu menghilang disaat seperti ini ? padahal kamu sudah
berjanji akan menemaniku.
“
ayo naik Rahaya !, jangan melamun terus ” kata pak Darman setengah marah padaku
“
i i I ya pak…..” jawabku
Sial
teriakku dalam hati. Raya, lupakan Arnold dulu. Sebentar dia pasti kembali. Akupun
konsentrasi lagi dengan traveling sejarah ini. Travelling sejarah mau tidak mau
membuat aku kembali teringat dengan Arnold, hal pertama yang aku lakukan dalam
hidupku adalah belajar mencintai orang lain dengan memahami. Dan itu Arnold
yang mengajarkanku, kemah arkeologi, kenangan yang manis untukku. Aku juga
masih ingat saat pertama bertemu dengannya. Dia terasa asing, tapi waktu telah
mengantarkan hatiku pada cinta yang sesungguhnya. Dialah cinta itu. Aku ingat
lagi, kenapa tiba-tiba aku yang menghindar ketika Arnold ucapkan hal-hal yang tidak mungkin
terjadi pada kami ? padahal, dulukan dia yang menghindar, kenapa tiba-tiba aku
yang menjadi dia ? apakah ini pertanda kalau Arnold sudah hidup dalam diriku ?
kuhela nafasku. Arnold aku mencintaimu, lebih dari yag kau tahu. Cinta ini akan
selalu hidup dalam diriku.
Kamipun
tiba di museum. Senang rasanya berada disini, aku bisa melihat semua bagian
dari sejarah. Kusibukkan diriku dengan melihat dan mempelajari bagian dari
sejarah kemerdekaan. Jurusanku memang bukan sejarah. Tapi kampus kami punya
agenda khusus dengan traveling sejarah dan itu sudah menjadi aktivitas tahunan
kampus kami. Setelah puas berkeliling, aku keluar museum dan beranjak ke sebuah
toko yang berada didepan museum. Aku membeli minuman dingin dan kembali ke
halaman museum. Aku duduk di kursi taman depan museum angin yang berhembus
terasa sejuk. Kulirik jam tanganku sudah jam satu. Kuhabiskan setengah dari isi
botol minumanku lalu beranjak ke mesjid yang terletak disamping museum.
Tentunya dengan izin pendamping kami.
Mesjid
manapun aku sholat rasanya sangat
tenang. Saat aku kecil aku selalu berdoa kepada Allah, diberi saudara meskipun
doaku tidak pernah dikabulkan, mungkin karena dia tahu aku anak manja yang akan
selalu butuh perhatian dari kedua orang tuaku. Berdoa agar tidak dimarahi mama.
Berdoa agar aku sembuh saat aku sedang sakit. Aku memang sudah lupa sejak kapan
aku diajari sholat, tapi semenjak itu Raya kecil berusaha keras untuk menghafal
semua bacaan sholat ingatku sambil memandang isi mesjid.
Setelah
menunaikan kewajiban aku bergegas keluar dari Mesjid. Kulihat sekitar area Mesjid,
tidak sengaja aku melihat sebuah Gereja didepannya. Entah kenapa langkahku
tertuju kesana. Aku tepat berhenti di depan gerbangnya. Apa yang Arnold minta pada
Tuhannya ? tanyaku dalam hati sambil tersenyum. Arnold, kamu kemana ? Kupandangi
anak-anak yang sedang sibuk bermain didepan Gereja. Apa seperti ini Arnold dulu
? saat dia masih kecil ? berlari didepan gereja dengan senyuman polosnya ? Aku
tertawa kecil. Aku tidak pernah tahu karena kau enggan menanyakannya. Bukan
karena aku tidak mau, tapi aku sudah berjanji untuk tidak membahas apapun
tentang ini padanya. Lalu saat itu, apa yang dia minta saat berdoa kepada
Tuhannya ? Dan sekarang, apa dia pernah meminta kebahagiaan kepada Tuhannya
saat bersamaku ?
“sedang
apa ?” seseorang bertanya padaku
Aku
sedikit kaget mendengarnya
“
ah.. maaf, “ tuturku setengah malu
“
tidak apa-apa, kenapa tidak masuk nak ?”
“
ma-maaf pak, saya bukan bagian dari…” kataku terhenti dan menatap gereja itu.
“
oh.. maafkan saya” sambil tersenyum
“kalau
begitu bapak masuk dulu, ” lanjutnya sembari melempar
Aku
hanya tersenyum menatapnya. Huft.. apa yang aku lakukan. Aku bergegas kembali
ke museum, semua mahasiswa sudah beranjak masuk kedalam bus, aku berlari kecil
takut ketinggal bus. Aku kembali duduk di kursiku semula, bus kemudian bergerak
meninggalkan museum, kepandangi mentari yang mulai turun dari titian bumi. Saat
ini aku hanya bisa menanti saat dimana cinta itu mencapai ujung. Meskipun aku
takut menghadapi semuanya, aku harus tetap tenang, seperti tenangnya mentari
turun dari titian langit.
* * *
Aku
sudah lama menunggu di pakiran kampus, kenapa dia tak muncul-muncul juga ?
dasar Arnold. Apa lagi yang akan dia lakukan. Semoga saja dia tidak ingkar
janji lagi seperti kemarin. Dan semoga saja dia tidak menjahiliku lagi. Peluhku
menetes, membasahi keningku. Tanganku tak henti-hentinya mengipas-ngipas.
Kakiku sudah lelah berjalan mondar-mondir, sudah setengah jam aku dibuat menunggu
laki-laki jelek itu. Kulirik lagi jam tanganku, berapa lama dia akan menjemurmu
seperti ikan kering ? aku sudah kehausan tapi dia belum datang juga. Tuhan……
“prittttttt…………………….”
“
oh my God, Arnold. Kamu udah gila ya ?”
“emang,
aku sengaja bawa sumpritan, melamun lagi tinggal aku tiup !!” katanya tersenyum
“
kita mau kemana ? “
“
ayo ikut saja”
“
kita mau k-e-m-a-n-a ?”
“ikut
saja” katanya sambil menganyuh sepedanya
Dengan
terpaksa aku harus mengikuti perintahnya. Tapi sebelum berangkat, aku
memintanya untuk membelikanku sebotol air, tenggorokanku sudah kering sejak
tadi. Dia pun berlari kekantin dan kembali dengan sebotol air dingin
ditangannya. Akupun minum, lega sekali rasnya. Aku mengayuh sepedaku
menyusulnya dari belakang, kali ini aku tak tahu lagi, mau dibawa kemana lagi
aku. Ya sudahlah, yang penting dia tidak membawa kambing lagi ke asramaku dan
tidak menghilang seperti kemarin.
Matahari
semakin panas, ku kayuh pedal sepedaku kuat-kuat, sesekali Arnold tersenyum
menatapku. Huft capek. Tapi pemandangan perbukitan ini, membuat aku kembali
bertenaga. Indah sekali tempat ini, meskipun berkali-kali rasanya tetap
menyenangkan saat kembali lagi kesini.
“dasar
udik, bukannya kamu sering ketempat ini Ray “
“
iya sih…. Tempat ini tak banyak berubah ya”
“
memangnya mau berubah bagaimana, beberapa hari yang lalu kita baru datang
kesini kan ? kamu apa-apaan, tak banyak berubah memangnya kamu sudah berapa
tahun tidak kesini ? turun gih dari sepeda, kita mau jalan ke bukit itu”
katanya sambil menunjuk bukit yang berada tepat di depan kami.
“
sepedanya parkir sini saja ?”
“
iya,..” sambil mengulurkan tangannya padaku.
Aku
menyambut tangannya, aku rasakan getaran yang kuat saat ia menggenggam
tanganku. Percikan bahagia terpancar di wajahku. Kami mendaki bukit, Arnold
menuntunku, hingga keatas. Entah kenapa, aku selalu bahagia tiap berada
didekatnya. Aku sering ketempat ini. Tapi kebukit ini, ini kali pertamanya. Aku
memandang kesekitar, indah. Senyumku mulai mengembang. Diam-diam Arnold memperhatikanku.
Dia hanya menatapku bahagia. Entah apa yang ia rasakan. Apakah ia bahagia
berada didekatku?. Lekat-lekat kami saling berpandangan, aku bisa merasakan
hati Arnold.
“
kamu suka ?”
“
apa ?” tanyaku padaku
“kamu
suka, aku pengan tangan kamu ??” Tanyanya serius
“Hm…
tidak, kenapa?”
“
ya udah”
“kamu
suka megang tangan aku Ar ?”
“aku,
tidak. Tadi itu aku cuma bantuin kamu naik bukit ini”
“
kalo memang Cuma bantuin naik kebukit ini, kita kan dah sampai. kenapa tangan
aku masih juga kamu pengang ??” tanyaku heran
“abis
tangan kamu pake lem, makanya susah lepas…. hehehehehehe”
Arnold………!!!
Pekikku dalam hati. Dia selalu saja bercanda, setahun pacaran dengan dia,
membuatku merasa menjadi perempuan paling bahagia. Walaupun dia terlalu sering
menjailiku. Tapi justru, itu yang membuat aku semakin mencintainya. Tawa kami
membahana, menertawakan kebodohan kami, kami berdua memang sama gilanya. Aku
memukul lengan Arnold, lalu berlari seperti anak kecil di antara alang-alang,
aku tertawa kencang, aku benar-benar bahagia. Aku menatap Arnold yang duduk
dibawah pohon. Dia hanya diam melihat tingkahku.
Tak
terasa, hari sudah malam. Waktu berjalan lebih cepat. Rasanya baru saja sejam
yang lalu aku menyandarkan kepalaku dibahunya. Setiap kali bersamanya selalu
saja terasa singkat.
“
Ray,… aku “
“
ya…….” Jawabku
Dia
lalu duduk menghadapku, dengan bergaya serius dia bertanya
“
pernah lihat bintang sama orang cakep nggak ??” tanya padaku
“pernah,
memangnya kenapa ?” tanyaku padanya
“dibanding
orang itu, aku masih lebih cakep kan ?” ujarnya sambil tertawa
“kamu
ini….”
“ayo
baring didekatku”
Aku
menuruti kata-katanya, aku berbaring disampingnya. Mata kami menatap langit,
tapi dilangit yang muncul malah awan hitam. Arnold tetap saja menatap kelangit.
Kupandangi wajahnya, kalau boleh jujur dari awal kamu memang kamu cakep Ar,
beruntung kau punya pacar seperti kamu. Kataku sambil tersenyum. Tapi kerena
kepalamu cepat besar jika aku memujimu, jadi aku simpan saja pujian itu.
“
aku cakep kan ? lebih cakep dari orang itu. pastinya”
Arnold
membuyarkan lamunanku.
“
ah, tidak siapa bilang ?”
“
buktinya dari tadi kamu liatin aku mulu”
“
ah nggak”
“ayo
ngaku…. Ahahahaha”
“
Ar….”
“
hm…”
“
kita bisa nggak kayak gini terus ?”
Arnold
tak menjawab. ia menghindari pandanganku
“
pendek…. Bintangnya muncul” sambil menunjuk keatas
“iya…”
ku tersenyum girang
Kami
memandangi bintang diatas langit. Menghilangkan sejenak perbedaan yang membentang
diantara kami. Perbedaan yang tak akan mungkin bisa kami tentang. Aku dan dia
beda, aqidah yang membuat kami berbeda, aku seorang muslimah dan dia pengikut
katolik yang setia pada Tuhannya. Perbedaan itu tak mungkin bisa kami tepis,
jika salah satu diantara kami mengalah dan mengikuti satu jalan yang sama
dengan menyatukan dunia kami, hal itu pula yang akan membuat kami terpisah.
Kami tidak mungkin menyatu dalam satu ikatan yang utuh karena kami punya
pendirian yang teguh. Aku dan Arnold berbeda dengan mereka yang bisa hidup
diantara pertentangan Tuhan. Kami sudah berjanji tidak akan pernah, membuat
jalan dengan menentang kuasa Pencipta. Itu janji kami. Tapi semakin hari aku
semakin takut, aku takut menjalani kehidupan ini tanpanya. Apakah ia bisa
merasakan itu ?. Sementara itu kami terus menghidupkan dunia kami, dalam cerita
yang telah kami ikrarkan. Arnold menggenggam tanganku, mataku sudah lelah,
akupun mulai menguap dan akhirnya tidur dipelukannya. Tiba-tiba saja aku berada
di sebuah taman, entahlah kau begitu tak mengenali tempat ini. Ada sesosok
bayangan di ujung sana. Banyangan itu perlahan menghampiriku. Aku mencoba
mengenali wajahnya, tapi dia bukan Arnold. Siapa dia ??
* * *
“
Raya…… bangun ” teriak Marinka
“
Hm,” ucapku setengah sadar
Dia
menggoncangkan tubuhku.
“apa
Mar ?”
“
ayo balik ke asrama”
Akupun
bangun setengah menahan kantuk yang menyergapku. Sudah berapa jam aku tertidur
dikelas ? aku lupa. Untungnya hari ini tak ada kuliah, dosen sibuk mengurus
persiapan Mid , jadi ada rapat bulanan hari ini. Aku mengantuk sekali, sebelum
pulang ke asrama, aku dan Marinka pergi ke toko buku. Didalam bus aku tertidur
kembali. Marinka membangunkanku ketika bus berhenti di halte. Kami pun beranjak
turun kebawah, aku dan Marinka memang punta rencana untuk memcari buku hari ini
tapi aku malas, rasa kantukku benar-benar tidak bisa kompromi denganku. Sudah
kesekian kalinya aku menguap, kuputuskan untuk berhenti menacri buku dan keluar
membeli sebotol minuman dingin. Setelah meminumnya otakku kembali segar.
Entahlah, setiap aku berada ditoko buku, aku masih terus mengingat senyuman
itu. Sampai saaat ini aku belum tahu siapa pemilik senyuman itu.
“
Raya..” tegur seseorang.
Aku
memandangnya
“David
?” kataku sedikit kaget
“
hai, apa kabar ?” tanyanya padaku
Senang
sekali bertemu dengannya. Meskipun masih ada rasa canggung saat bertemu
dengannya. Ini kali pertamanya aku bertemu setelah kejadian itu. Sudah lama
sekali, dan dia tidak berubah sama sekali. Aku bersyukur, kami masih berteman
sampai sekarang. David mengajak aku dan Marinka untuk makan siang. Awalnya aku
menolak, tapi dia memaksaku untuk menerima tawarannya sebagai tanda
persahabatan. Dengan senang hati kuterima tawaran itu. Tiba-tiba aku kembali
teringat dengan satu bagian di masa lalu. Dulu aku dan David punya cerita, tapi
cerita itu sudah selesai, aku senang mengenal dia, meskipun rasa sakit itu saat
tahu kami tidak bisa bersama. Tapi semuanya sudah berlalu, yang perlu aku
kenang hanyalah, dia akan tetap menjadi bagian dari perjalanku. David, aku akan
tetap mengenangnya, bagaimanapun juga kau tetap seseorang yang mengajarkanku
cinta.
Setelah
makan, aku dan Marinka berpamitan dengan David. David mengantarku sampai
kedepan. Di tetap tersenyum seperti biasa. Tidak banyak yang berubah
perhatiannya dan kebaikannya. Dia benar-benar istimewa. Aku dan Marinka lalu
naik bus kembali ke asrama. Sepanjang jalan aku hanya duduk dan diam. Marinka
bertanya banyak tentang David, tapi aku hanya mengenalkan David sebagai
sahabatku. Kurang baik rasanya menceritakan hubunganku dengan David. Marinka
senang dengan keramahan David, dia terus-terus menggodaku dengan pertanyaan
yang sama ada hubungan apa aku dan David. Aku hanya tersenyum, Marinka kamu
benar-benar pintar membaca situasi, bahkan mampu menyimpulkan sesuatu yang baru
kamu lihat, tapi bukan bagianku untuk menceritakannya saat ini. Mungkin ada
saat yang lain. Sampai di asrama, aku langsung membaringkan tubuhku diatas
kasur. Kasur ini terasa empuk, ditambah lagi perutku yang sudah terisi. Dalam
hitungan ke 3 aku sudah jatuh di alam tidur. Senang rasanya kembali bertemu
dengan David.
* * *
Pagi-pagi
buta aku sudah terbangun. Mengambil air wudhu lalu bertemu dengan Tuhanku.
Setelah itu aku melipat dan meletakkan mukenaku di atas ranjang.
“
Ray….. buka pintunya dong” Teriak Marinka
“
Hm, iya sebentar”
Akupun beringsut dari tempat tidur lalu berjalan
kearah pintu kamarku.
“ masuk…., “ ucapku pada Marinka
Aku membuat
secangkir susu coklat hangat untuknya. Dan menyodorkannya.
“ minum gih, mumpung masih hangat” ucapku padanya
“ thanks Ray, lo nggak minum?”
“
nih aku minum air hangat saja, tenggorokanku lagi alergi nih sama yang
manis-manis” kataku setengah tertawa
“
Ray,,” ucap Marinka setelah menyeruput susu coklat buatanku
“
Hm,,,,” gumamku
“
kamu kemarin kemana sih ? pake acara pulang subuh” Tanya Marinka
“
aku ke bukit sama Arnold”
“
Cuma berdua, terus tidur dimana ?”
“
dibukitlah, emangnya mau tidur dimana…” jawabku tenang
“
ya ampun Ray, kamu dah gila ya. Kamu masih sehat kan ? kamu nggak
diapa-apainkan sama Arnold ? terus kalian ngapain aja disana ? ? “
“
Mar…….” aku tertawa
“kok
ketawa ? Kalau sampai Arnold ngapa-ngapain kamu, tamat riwayatnya ” ucap
Marinka berapi-api
“
Mar….”
“
Ray, seharusnya kamu nggak boleh pergi berduan dengan Arnold, bahaya tau”
“
Marinka.. kita nggak ngapa-ngapain kok, beneran sumpah !”
“ tapi Ray, tunggu dulu. Hanya itu kan ?, kamu
nggak nyembunyiin yang lain ?”
“
ya ampun Marinka. Kamu sudah kenal baik dengan dia kan ? Selama setahun pacaran,
dia tak pernah sekalipun minta yang macam-macam. Kamu percaya sama aku, aku
masih punya“ kataku sambil kutunjuk kepalaku
“
Ray,,, aku percaya sama kamu, tapi… ini sudah setahun kamu jalan dengannya, aku
rasa, sebagai sahabat aku patut menasehati kamu. Ray, please pikirin baik-baik
hubungan kamu dengan Arnold. Aku tak mau jika suatu saat nanti, kamu sakit
karena tak bisa bersamanya lagi” nasehat Marinka padaku
Kata-kata
terahir Marinka kembali membuatku aku tertegun. Tuhan aku apa benar yang
dikatakan Marinka ? Aku menatap Marinka sambil menahan gejolak dihatiku. Aku belum
bisa, membayangkan bagaimana aku jika tidak bersamanya. Tuhan, panjangkan
waktuku bersamanya. Marinka menepuk pundakku, aku hanya melempar senyum
padanya. Aku tahu dia hanya ingin yang terbaik untukku.
* * *
Jam
kuliahku selesai setengah jam yang lalu. Aku duduk menunggu anold dilapangan
tenes, tepat dibawah pohon yang rindang. Pikiranku melayang, aku masih
memikirkan ucapan Marinka. Tuhan, aku tahu kau lihat kebimbanganku, tapi apakah
ini ujung yang harus aku hadapi ?. aku takut melepaskan apa yang telah menjadi
milikku. Aku tak pernah bisa. Tapi, bagaimana jika jalan yang lain datang
apakah aku sanggup menghadapinya ? Lalu bagaimana dengan Arnold ? apakah dia
berfikir yang sama denganku ? Arnold
“ melamun saja dasar pendek..” ucap Arnold
“ apaan sih, gangguin aja” jawabku
ketus
“ nih, minum, tuh gigi kamu kering
gara-gara sering melamun”
Aku mengambil botol air yang ia
bawakan sembari menatap wajah. Kalau misalkan Arnod ikut aqidahku. Mau tidak ya
?. tapi tidak mungkin. Arnold, kenapa kamu harus beda dengan aku sih ? kenapa
juga kita tidak,
“main tenes yok..” kata Arnold
Aku menyemburkan air yang baru saja
hendak ku telan.
“ ish kamu jorok Ray” tuturnya
sambil tertawa
Kulap lepehan air yang keluar dari mulut
dengan tissue. Tuhan, Arnold benar-benar kurang kerjaan mengajakku main tenes
siang bolong seperti ini. Aku menggeleng. Dia membujukku, aku tetap tidak mau
mengiyakan ucapannya. Dia lalu menarik tanganku kuat-kuat, aku tetap tidak mau,
kutahan tanganku, aku menolak tawarannya. Tapi tarikannya mengalahkan
pertahananku. Dia lalu menyuruhku masuk kelapangan dan meleparkan raket tenes,
aku menangkap dengan sigap, berat sekali raket ini. Arnold memang benar-benar
singting, dia menyuruhku main tenes memakai raket yang digunakan pemain
laki-laki, kali ini dia benar-benar akan membunuhku.
Terik matahari membuat mataku perih,
Arnold sudah siap dengan bola pertamanya. Aku bersiap dengan posisi memegang
raket yang berat. Arnold sudah memukul bola pertamanya, dengan sekuat tenaga
kukejar bola yang diarahkan untukku, tapi terlambat bola itu jatuh tepat
didepanku, angka pertama untuk Arnold. Bola kedua masih menjadi miliknya, bola
ketiga , empat dan lima masih menjadi miliknya. Aku terengah, lelah. Aku
melambaikan tangan padanya dan duduk lemas. Aku sudah lelah keringatku mengalir
deras. Tapi dia malah mengejekku dan mengatakan aku tidak bisa menaklukannya.
Aku sama sekali tidak perduli dengan ocehannya. Aku benar-benar lelah. Tapi
Arnold malah semakin mengejekku, aku benar-benar tidak tahan, akupun bangkit
dan menyuruhnya untuk memukul bola ke enam, kali ini aku bersiap mengambil
langkah, dan bolanya jatuh lagi dihadapanku. Arnold teriakku. Arnold tertawa
ringan. Lalu memukul bola ke tujuh, aku geram dia mengejekku lagi, kali ini dia
bersiap dengan bola ke tujuh, dia memukulnya kuat, kali ini aku berhasil, aku
mengayun raketku ke arah bola, dan berhasil. Aku teriak kegirangan lalu
melompat-lompat dan berlari mengitari lapangan. Arnold mengangguk sambil mememeluk
raketnya. Tak selang berapa lama, aku mendengar suara pecahan kaca.
“ siapa yang memukul bola ini ?”
teriak satpam kampus
Aku kaget mendengarnya, Arnold
melepaskan raket dari pelukannya, lalu berlari kearahku. Ia meraih tanganku,
raket yang tadi masih aku pegang. Arnold mengambilnya dari tanganku lalu
melemparnya. Dia berlari sambil menuntunku. Kami sudah berada didepan sepeda,
Arnold menyuruhku naik keatas sepeda dan memintaku memegang ujung bajunya.
Kuturuti perkataannya, ia mengayuh sepedanya dengan kencang, aku berteriak
dibelakangnya.
“
Arnold, pelan-pelan” teriakku
Dia
tertawa keras. Aku memukul punggungnya dari belakang, tapi dia tidak
memperdulikanku dia tetap saja mengayuh sepedanya dengan kencang. Aku lelah
berteriak, kuputuskan untuk diam dan memegang ujung bajunya kuat-kuat dan
menutup mata. Akhirnya Arnold berhenti dijananan yang sunyi. Dia mengambil
nafas lalu tertawa, aku duduk di sampingnya.
“
ternyata pukulan kamu keras juga ” tutur Arnold
“
hm, kamu ini, siapa suruh ngejek aku, baru tahu kamu, tapi bagaimana ini ? kita
pasti bakalan kena sanksi” kataku padanya
“enak
saja, bukan aku yang mukul bolanya, malah aku disuruh tanggung jawab, apa-apan
ini”
”Arnold,
tapi itu gara-gara kamu juga kan ?” kataku berteriak
”enak
saja nuduh-nuduh”
“Arnold
!! ”
“
iya-iya….” katanya
Aku
melongos, mati aku, besok pasti bakalan kena bagian. Arnold, bisikku kesal. Dia
lalu melihatku denganku serius, dia menahan tawa melihat wajahku yang merah.
Sambil menirukan wajahku dia mencoba mendinginkan suasananya.
“
hm hm hm, mbak Raya, bagaimana rasanya pecahin kaca dan di kejar sama satpam ?”
tanyanya serius
Aku
tidak bisa menahan tawaku, aku tertawa mengingat kembali apa yang terjadi tadi.
Benar-benar intermezzo yang melelahkan, ini gila. Arnold, kamu benar-benar sinting
kenapa juga kamu mengajakku bermain tenes siang bolong, dan gara-gara kamu
mengejekku aku memukul bolanya terlalu kencang dan kena kaca ruang perustakaan.
Dan yang lebih parah, sekarang kita dalam masalah, semoga saja hukuman besok
tidak berat tuturku dalam hari lalu aku kembali tertawa sambil memegang
perutku.
* * *
Sebenarnya
aku enggang beranjak ke kampus. Rasanya malas sekali, apa lagi kemarin aku
menghabiskan semua tenagaku, bermain tenes dan menghindari kejaran satpam. Kelas
masih sunyi saat aku tiba. Aku duduk ditempat biasa, dekat jendela.
Berkali-kali kukucek mataku, aku masih mengantuk.
“pagi
Raya..” sapa Marinka
“pagi….”
“
kenapa tu mata ? habis begadang lagi ?” tanya Marinka padaku
Aku
menggeleng. Marinka lalu duduk di sampingku, dan membaca buku yang beberapa
hari yang lalu kami beli ditoko buku. Aku hanya melihatnya tanpa bicara.
Sekejap, ruangan sudah penuh mahasiswa, ruangan ini seperti pasar saat semua
teman sekelasku berada dikelas, rebut sekali. Kurogoh kantong tasku. Seperti
biasa, kudengarkan lagu lewat ponselku. Aku merasakan tubuhku digonjang keras,
kuarahkan tubuhku kedepan Maya, lalu mengangkat bahu dan alisku. Dia lalu
mencaut headset dari telingaku,
“
tuh” katanya sambil menunjuk dosen yang sudah berdiri di depan.
“
kamu mau kena hukum ? ” bisiknya
Aku
menggeleng, Maya heran melihat tingkahku. Aku hanya tersenyum, benar juga apa
yang dia katakan. Aku harus kembali fokus, kunaikkan catatanku dan mulai
konsentrasi untuk belajar. Tak lama kemudian, pegawai perpustakaan datang lalu
berbicara dengan dosenku. Hatiku gelisah melihat mereka berbicara. Semoga saja
itu bukan aku.
“
Rahaya Najwa, silahkan ikut ibu Rahma” panggilnya
Aku
berdiri dari kursi, mau tidak mau aku harus menurutinya. Maya, menarik tanganku
“
ada apaan lagi Raya, kamu nggak bikin ulah lagi kan ?” bisiknya padaku
Aku
menggeleng dan mengkerutkan kening padanya. Akupun keluar kelas, mengikuti ibu
Rahma. Mau dibawa kemana lagi aku ? rupanya ibu Rahma membawaku keperpustakaan
kampus. Arnold sudah ada didalam sambil melambaikan tangan padaku. Kenapa
tersenyum gembira ? dasar bodoh. Ibu Rahma menyuruhku duduk.
“
saya rasa, kalian sudah tahu, untuk apa kalian dipanggil kemari” ucapnya
membuka pembicaraan
Aku
dan Arnold saling bertatapan
“
kalian berdua ini, jangan pura-pura tidak tahu. Baiklah, ibu tidak mau
berlama-lama, ibu rasa hukuman untuk kalian tidak berlaku lagi, jadi sebagai
gantinya kalian hanya perlu mengganti kaca yang kalian pecahkan. Lain kali
jangan lari dari tanggung jawab. Kalian sudah dewasa jadi harus bisa bertanggung
jawab, dan kamu Raya jangan berbuat begini lagi”
“
baik bu..” jawabku
“
ya sudah kalian kembali ke kelas gih”
Aku
dan Arnold beranjak dari ruang perpustakaan. Aku dapat teguran lagi, bisikku
dalam hati.
“
tidak usah difikir, ambil pelajaran aja” tuturnya padaku
Dia
benar-benar banyak bicara. Sebenarnya hari ini aku benar-benar lelah, aku
benar-benar malas untuk bicara, tapi Arnold terus-terus mengajakku bicara. Kali
ini aku bosan mendengarkan celotehannya. Untungnya setelah melewati ruang
dosen, aku menemukan pot bunga, aku berjalan kearah pot bunga, Arnold
mengikutiku. Kupetik satu tangkai bunga dari pohonnya. Arnold masih saja
mengajakku bicara. Kupercepat langkahku menuju kelas, Arnold mengikutiku dan
berjalan disampingku, dia masih saja mengoceh dan membahas kejadian kemarin,
tapi kali ini kau benar-benar malas mendengar ocehannya. Ketika dia masih asyik
dengan ceritanya kumasukkan bunga kedalam mulut. Tanpa bicara kutinggalkan dia
dengan bunga yang masih berada di dalam mulutnya.
* * *
Lepas jam kuliah, aku memilih
menghabiskan waktu diperpustakaan. Mumpung, masih jam sepuluh. Kebetulan, hari
ini kuliah dimulai jam delapan, dan berhubung dosen mata kuliah kedua ada
urusan penting, jadi beliau meminta har yang lain sebagai pengganti.
“
bunga yang kemarin enak juga” tutur Arnold padaku
Aku tersenyum, serba salah jadinya.
“ kamu harus tanggung jawab”
“ apa tanggung jawab ? tanggung
jawab apaan sih ?” tanyaku pada Arnold
“ sudah ikut saja ”
“ nggak-nggak, aku nggak mau, entar
kamu ngajakin aku main tenes lagi”
Arnold menggeleng, lalu meraih
tanganku dan dasar Arnold, kali ini dia mau buat masalah apalagi ? aku
mengikuti langkahnya, cepat sekali. Kami tiba didepan asrama, tapi bukan
asramaku, ini asramanya. Semua penghuninya laki-laki. Aku menggeleng padanya.
Tapi dia tetap saja mendorongku masuk. Aku menunjuk pak satpam yang sedang
berjaga. Arnold lalu berlari kedalam asrama dan kembali tiga menit kemudian,
dengan nafas terengah dia memberikanku jaket dan menyuruhku untuk memakainya,
akupun bertanya untuk apa aku memakai jaket tapi dia tidak menjawab. setelah
memakai jaket, dia pun tersenyum lalu menarikku dan memakaikan kupluk jaket
dikepalaku.
“ ayo masuk” katanya padaku
Aku menggeleng, kuputar langkahku
kembali ke jalanan menuju kampus. Mulutku komat kamit. Dia mengejarku dan
berjalan kehadapanku.
“ ayo..” katanya padaku
“ sekali nggak, tetap enggak “
Tanpa kehilangan akal, dia lalu
menarik tanganku dan berlari kencang seperti biasa. Mau tidak mau aku harus
ikut berlari dengannya. Apa yang bisa aku perbuat ? genggaman tangannya sulit
aku lepas. Rupanya kami berlari kedalam asrama. Apa-apaan ini ? bagaimana kalau
sampai ketahuan satpam ? kami sudah tepat berada di pos satpam, lari Arnold
semakin kencang, kuimbangkan dengan mempercepat gerakan kakiku. Sesaat setelah
itu kami sudah berada didalam asrama. Arnold menyuruhku agar tidak melepaskan
kupluk sebelum sampai kedalam kamarnya. Kami pun tiba di depan kamarnya, dia
lalu merogoh saku celananya. Dengan kunci yang ada ditangannya, dia membuka
pintu.
“ welcome pendek….!” Ujarnya sambil
meledekku
“ apaan sih, pendek-pendek “ jawabku
kesal
“ memang kenyataannya kan”
Kulirik Arnold dengan tatapannya
kesal. Enak saja dia, menyematkan kata pendek untukku. Memangnya aku ini pendek
? kuperhatikan tubuhku dari atas sampai bawah, aku tidak pendek tuturku dalam
hati. Arnold menutup mulutnya menahan tawa, jengkel melihatnya, aku bergerak
mendekatinya lalu memberinya satu cubitan dilengannya, dia meringis lalu
bergerak menjauhiku, tapi aku tidak tinggal diam, pokoknya kali ini dia harus
diberi pelajaran, kalau terus-terusan begini dia akan selalu mengejekku. Ketika
aku menarik lengan bajunya, kakiku tersandung kursi dalam sekejap aku sudah
jatuh dilantai dan Arnold tepat berada di bawahku. Jantungku berdegup kencang,
aku benar-benar malu, lekat-lekat matanya memandang mataku, dia hanya
tersenyum. Dan mendekatkan wajahnya ketelingaku
“ bangun dong, aku sesak nafas...
kamu berat sekali” bisiknya pelan
Bergegas akupun bangkit dan
memperbaiki posisiku lalu duduk diatas kursi.
“
sory-sory… nggak sengaja” uturku cemberut padanya
Arnold
beringsut duduk disampingku, aku bergeser menjaga jarak darinya, tapi dia tetap
mendekat denganku.
“ kenapa Ray ?” tanyanya padaku
Aku menggeleng takut salah
memberikan jawaban. Dia lalu meraba dahiku.
“ pantas kepalamu panas, tidak heran
pikiran kamu jadi jorok” tuturnya padaku
“
apa-apaan sih, sapa juga yang berfikir jorok. Enak saja, lagian ngapain juga
kamu..” belum selesai kalimat yang terujar dari mulutku, Arnold memotongnya
“
gendut ? berat ? emang kenyataannya kan ?” jawabnya enteng
“
tu kan…. Kamu tuh…!!!”
“
nggak kok, jangan cemberut dong”
Dia
memandangku sejenak
“sudah
bersihkan kamarku, sebagai ganti rugi kemarin dan karena kamu sudah berfikir
yang tidak-tidak tentang aku” katanya enteng
“
tapi, kenapa harus aku, harusnya kamu dong yang membersihkannya”
Tanpa
memperdulikanku dia berlalu menutup pintu dengan keras dan menguncinya dari
luar. Benar-benar heran dengan tingkahnya. Kulihat seluruh isi kamar Arnold,
benar-benar berantakan. Tuhan, aku baru tahu seberapa jorok pacarku. Akupun
mulai membersihkan kamarnya, kukumpulkan semua pakaian kotor yang berserakan
dimana-mana. Setelah itu, aku membersihkan tempat tidurnya. Lalu kucuci piring
yang sudah aku kumpulkan. Cucian piring Arnold benar-benar banyak, sudah berapa
lama dia membiarkan piring-piringnya bertumpuk ? Arnold kamu benar-benar jorok.
Tempat
tidur beres, begitupun dengan cucian piringnya. Sekarang aku menyapu seluruh
ruangan. Dalam sekejap seluruh ruangan sudah bersih. Sekarang benar-benar
bersih. Aku tersenyum sumringah., kulirik jamku sudah jam dua belas siang,
waktunya sholat dhuhur, aku kebingungan,
bagaimana caranya aku bisa sholat ditempat ini. Ini kamar Arnold, meskipun dia
muslim dia tidak mungkin punya mukena dilemarinya. Kuputar akalku untuk mencari
solusi. Kulihat diatas ranjang, ada selimut tipis yang baru aku lipat tadi, dan
jaket yang aku kenakan ukurannya besar bisa menutupi semua badan dan kepalaku.
Sebagai penggannti sejadah aku mengambil taplak meja yang bersih di jemuran
Arnold. Sekarang semuanya sudah siap, aku bergegas masuk kekamar mandi dan
mengambil air wudhu, dan setelahnya akupun sholat dengan pakaian sholat
seadanya. Namun apapun itu, saat-saat menghadapnya selalu terasa istimewa
meskipun dengan keadaan seperti ini.
Kulipat
kembali selimut lalu kutaruh diatas tempat tidur Arnold. Begitupun dengan
taplak meja yang sudah kembali ketempat semula, terakhir kugantung jaketnya
dibelakang pintu. Bosan menunggu Arnold aku memperhatikan semua barang-barang
yang ada dikamarnya. Mataku tertuju pada lemari yang berada disamping tempat
tidur dipintunya tertulis don’t open. Aku berjalan kearah lemari, aku penasaran
dengan isinya, tanganku lalu membukanya, seketika tumpukan pakaian jatuh
kehadapanku. Arnold ! teriakku dalam hati. Dengan perasaan kesal kuremas ujung
bajuku. Tapi aku harus sabar, kupendam perasaan jengkel yang mengepul diotakku,
satu persatu kukumpulkan pakaian Arnold lalu kulipat satu persatu dan
kuletakkan kembali pakaian yang sudah terlipat rapi kedalam lemari. Tanpa
sengaja aku menemukan sebuah buku terlihat sudah lama, tapi masih terawat.
Ingin sekali rasanya kulihat isi dari buku itu namun kuurungkan niatku.
Kukembalikan buku itu kedalam lemari.
Sudah
satu setengah jam Arnold pergi tapi dia belum juga kembali. Ku ambil ponselku
yang berada di atas meja dan kupanggil nomornya. Pintu terbuka, lalu Arnold
masuk kedalam kamar lalu mengunci kamarnya dari dalam. Kureject panggilanku ke
nomor Arnold.
“
kenapa mesti di kunci ?” tanyaku padanya
“
memangnya kamu mau ketahuan ?” tanyanya balik padaku
Aku
hanya tertawa menyadari kebodohanku. Arnold meletakkan bungkusan diatas meja
dan mengambil dua buah piring, sendok serta gelas. Arnold menyuruhku duduk
didepannya. Ia menyodorkanku piring dan sendok, lalu membuka bungkusan makanan
yang baru dia beli.
“ kamu kemana saja ?” tanyaku padanya
“
sudah tau malah nanya “
“
beli makan kok lama benar ?” tanyaku lagi
“
ngantri, sudah tanyanya entar, sudah makan saja”
Aku
menganggukan kepala, sebelum berdoa bersama Arnold, kutundukkan kepalaku. Allahummabariklana fima razaktana wa kina
azabannar.
“
Ya Allah” kali ini aku membuka suara
“
Tuhan Yesus” Arnold menyambut ucapanku
“pemberi
berkah, berkahilah aku”
“aku”
seru Arnold bersemangat
“terima
kasih atas rezkimu”
“
berkatmu padaku”
“
amin ya rabbal alamin”
“
amin”
Akupun
menghabiskan makananku. Dia tak berhenti menahan tawa,dasar rarnold. Aku
menunjuk ke arah lemari. Arnold menoleh kebelakang, lalu mengangkat bahunya dan
menatapku. Sepertinya ia belum mengerti atau pura-pura tidak mengerti. Aku
menghela nafas, mungkin itu benda pribadi. Kuurungkan niatku untuk bertanya
lagi padanya.
* * *
Libur
ujian tengah semester dua hari lagi. Aku udah berjanji untuk pulang ke rumah.
Meskipun libur kali ini tidak banyak setidaknya lumayan lah untuk bertemu
dengan Maya. Sudah banyak rencana yang kami buat. Hari ini aku mengumpulkan
beberapa pakaian. Dua lembar sudah cukup, lagipula aku hanya pulang kerumah,
baju dirumah juga masih ada. Setelah berkemas, aku keluar asrama menemui
Arnold, aku punya janji dengannya. Menemaninya entah kemana, sudah kebiasaannya
sejak dulu, pergi dengannya tanpa harus tau kami harus kemana. Dia menyambutku
dengan senyuman. Udara sore ini tidak terlalu panas, dan langit terlihat
mendung. Arnold sudah siap dengan sepedanya. Dia menyuruhku naik, sepedapun
bergerak meninggalkan asramaku. Saat-saat seperti ini selalu terasa
menyenangkan, meskipun ini bukan kali pertamanya aku duduk diatas sepeda yang
sama bersama orang yang sama.
Kulihat
jalanan yang kami telusuri, belum pernah aku ke tempat ini. Semakin sepeda
dikayuh semakin kuat hembusan angin yang kurasakan, seperti suasana angin
dipantai bisikku dalam hati. Arnold berhenti mengayuh sepeda, aku pun turun.
Tanpa banyak bicara, ia menarik tanganku. Kami meleeati jalan berbatu dan
menurun, dengan perhatian ia membimbingku menuruni satu persatu batu-batuan
yang menjorok ke bawah.
“
sampai….” Teriak Arnold
Kepalaku
yang sejak tadi menunduk memperhatikan jalan, mendongak keatas.
“
bagaimana ?” tanya Arnold padaku
Dahiku
mengkerut mendengar pertanyaan itu. Kuangkat bahuku.
“
sudah, tidak penting”
Arnold
melepaskan tangannya. Dia lalu berlari kesana kemari seperti anak kecil. Dia
tertawa lepas, sangat menikmati. Kuperhatikan ia lekat-lekat, aku yang sedari
tadi duduk diatas bongkahan batu besar hanya tersenyum menatapnya. Arnold lalu
berlari mendekat dan beringsut duduk disebelahku. Bibirnya tak henti tersenyum,
kualihkan wajahku kedepan, matahari mulai beranjak turun dari titian langit,
terlihat indah meskipun hujan sebentar lagi akan turun.
“
Raya..” Arnold memanggil namaku
Kupandang
wajahnya. dia merogoh kantong jaketnya. Arnold mengepalkan tangannya di wajahku
lalu melepaskan sesuatu dari genggamannya. Aku menoleh heran padanya, dia
mengisyaratkan aku agar menatap genggaman tangannya. Dan ketika aku kembali
memandangi genggaman tangannya. Tepat di depan wajahku, dua buah kalung bergerak,
dan bandulnya saling bertabrakan tertahan tangan Arnold.
“
aku hanya ingin memberikanmu ini” tuturnya pelan
Aku
menoleh ke arahnya. Aku beum mengerti apa yang ia bicarakan. Dia lalu
memperhatikan kalung itu. Kilihat kedua kalung itu, bandul salib dan tulisan
Allah. Untuk apa ini ? bisikku dalam hati.
“
aku ingin ini jadi lambang kita, Allah untukmu dan Salib untukku, anggap saja
lambang cinta. Kita akan mengingat semua kenangan lewat kalung ini ” kata
Arnold
Dia
bergerak mendekat, tangannya menjulur kebelakang, memasangkan kalung Allah
untukku. Lalu memakai kalung salib dilehernya sendiri. Aku menyentuh bandul
tulisan nama Allah, ku genggam erat bandul itu. Ku hirup udara sore lebih
dalam, aku hampir menangis. Namun tangan Arnold lalu menarik lenganku dan
menopangkan kepalanya dipundakku.
“sudah,
jangan mewek lagi, sudah tau jelek masih juga nangis. Dasar pendek” katanya
Aku
membuka suara
“
Arnold”
“hm…”
“
bagaimana kita nanti ?” kuucapkan pertanyaan itu padanya.
“
semuanya ada disana” katanya sambil menujuk langit yang mulai gelap.
Bulir-bulir
air jatuh dari langit, entah pertanda apa ini ? apakah hujan ikut menangis
karena cinta ? Arnold menarik tanganku, berlari mencari tempat untuk berteduh.
Pelan-pelan ia menuntunku ke kembali kejalan raya. Dia menyuruhku naik diatas
sepeda. Sepeda pun melaju dibawah hujan, tepat dibawahnya. Rambutku mulai
basah, seperti hatiku yang terlanjur hanyut dalam arus cinta.
Arnold
berhenti di halte dekat asramaku, dan turun dari sepeda. Kami berteduh dibawah
halte, tanpa bicara satu katapun, tanpa suara, hening, redup seketika. Aku
hanya memandangi kalung pemberian Arnold lalu kugenggam dengan erat. Kulupakan
segalanya, pertentangan yang sudah lama aku pendam, aku berdiam sejenak.
Kurasakan getaran hebat dalam hatiku, aku ingin menangis, dadaku mulai sesak,
benar-benar sesak.
Kurasakan
Arnold mencium keningku. Aku memandangnya, rasanya sedikit aneh. Untuk pertama
kalinya ia berani mencium keningku. Dadaku yang tadi sesak berubah gugup
seketika. Arnold pura-pura mengusap bajunya yang basa, mataku masih menatapnya,
kugigit bibir bawahku, dahiku mengkerut. Bingung dan heran dengan apa yang
dilakukannya tadi, Bagaimana bisa dia ?
“apa-apaan
sih ?” tanyaku padanya
Dia
berpura-pura tidak mendengar dan masih sibuk mengusap pakaiannya yang basah.
Tanganku memukul lengannya. Dia lalu berbalik dan menatapku lekat-lekat. Sambil
melipat tangannya di dada, dia jalan berputar mengelilingiku dan
memperhatikanku. Aku lalu memeluk tubuhku erat, apalagi ini ?. Kali ini dia
berhenti dihadapanku.
“
kenapa ? kamu kedinginan ? mau aku peluk ?“ tanyanya padaku seraya
menyondongkan tubuhnya mendekatiku.
Aku
bergeser menjauh beberapa langkah darinya. Dia memandangku sambil menahan tawa,
seketika tawanya pun lepas. Aku masih heran dengan tingkahnya.
“
kamu itu, gampang dijailin, Raya… Raya… otak kamu memang mines selalu saja
berfikir negatif ” wajahnya mulai merah karena tawa
Satu
pukulan melayang dilengannya, tanpa memperdulikannya aku memukul lengannya
berkali-kali, tapi dia masih saja tertawa dan berlari kecil menghindariku.
Arnold, semenit yang lalu hati terasa sesak, tapi dalam sedetik kamu bisa
membuatnya lega dengan sikapmu yang jail. Arnold, seperti inikah cinta yang
sesungguhnya ? sebentar-sebentar terasa sesak, sebentar-sebentar terasa senang
dan sebentar-sebentar terasa risau. Semuanya terjalin menjadi satu. Tawaku
meledak, Arnold, saat seperti ini, jujur aku tidak ingin cepat berlalu.
* * *
Sejak
tiba dirumah aku lebih banyak diam. Kuhabiskan waktuku duduk atas teras kamar
menikmati senja, meskipun tak ada pantai, rasanya hampir sama. Seperti tiga
hari yang lalu. Kusentuh lembut kalung pemberian Arnold yang tersemat
dileherku. Senyumnya selalu begitu saat bersama, senyuman yang begitu manis.
Wajahku berseri diterpa cahaya merah matahari. Pepohonan bergidik saat hembusan
angin bergerak pelan kearahnya. Burung senja berterbangan. Cinta ini semakin
tumbuh sejak pertama kali ia tinggal dihati ini, tubuh menguat menjalar
keseluruh hidupku. Aku telah lupa dengan daratan yang kupijak. Tawaku memecah
keheningan, ya dunia sesaat menjadi milikku.
Senandung
adzan berkerumun di telinganku, astagfirullah.
Sudah magrib, aku segera bergegsa menunaikan kewajibanku, maafkan aku Tuhan,
aku terlalu sibuk berkhayal. Kututup tirai hingga sisa cahaya merah menghilang,
benar dia harus pergi sekarang.
* * *
Lepas subuh Maya sudah berdiri
dihalaman rumahku. Aku sudah tahu, hari ini kami berencana mampir diwarung
bubur ayam dekat kantor lurah. Kulambaikan tangan padanya lalu turun kebawah
menemuinya. Maya menggandeng tanganku, menyusuri jalanan, jalan ini masih sama. Ratusan kali sudah aku
lewati dengan orang yang sama, Maya sahabatku. Kami sudah tiba ditempat mang
Arif. Dari luar warung mang Arif penuh dengan pengunjung, semoga saja itu cuma
kelihatan penuh masih ada kursi kosong didalam. Saat kami berjalan masuk, mang
Arif tersenyum riang menyambut kedatangan aku dan Maya. Mang Arif juga sudah
menyiapkan tempat dan mempersilahkan kami duduk. beliau bergegas mengambil
mangkuk bubur panas yang sudah tersedia.
“ nah silahkan mbak-mbak cantik”
Makassar memang penuh dengan suku
budaya tak heran warga kami banyak yang berasal dari daerah lain, Mang Arif
contohnya beliau sudah tinggal ditempa ini sejak 20 tahun yang lalu.
“makasih ya.. mang….” Tutur padanya
Mang Arif lalu duduk diantara kami,
dengan candaan dan tawanya yang khas dia mulai bercerita, tak peduli dengan
pelanggannya yang lain. Seperti biasa, mang Arif berujar kalau ada asisten yang
siap siaga. Mang Arif sudah menganggap kami seperti anaknya, tidak heran setiap
kali kami bertandang kemari, mang Arif selalu meluangkan waktuwalau sekedar
bertanya kabar dan menemani kami menyantap buburnya. Boleh dibilang kehidupan
mang Arif sangat sederhana , istrinya tinggal berjauhan dengannya, di Bandung,
Mbok Ratmina. Istri mang Arif hanya sekali dua kali berkunjung ke Makassar,
alsannya karena tuanya sudah tua dan tidak ada yang mengurus mereka. Mbok
Ratmina dan mang Arif tidak punya anak, mungkin itulah alasannya mereka
memperlakukan kami istimewa dan menganggap kami anak mereka.
“lahap benner neng makannya “
celotehnya melihat Maya gelagapan makan bubur
“ Maya, rindu mang, sama bubur
buatan mamang” ucap Maya dengan mulut penuh bubur
“
ngeles dia mang, Maya memang begitu, dari dulu makannya lahap dan kilat” kataku
menyambar
“bukannya
neng Raya yang kayak gitu ?” jawab mang Arif menahan tawa
Kami
tertawa lebar, memang kenyataannya begitu. Suasana seperti ini membuatku selalu
rindu dengan tempat ini. Mang Arif tidak pernah lupa kebiasaanku.
“mang
selalu rindu pengen ketemu anak-anak mang, ya apa boleh buat, cuma libur kayak
gini mang bisa ketemu”
“
kelihatannya neng Raya bahagia sekali” lanjut mang Arif
“biasa
mang, kalo bahagia tentu sudah pasti kan ketemu sama mang Arif” jawabku seraya
menggoda mang Arif
“bohong
mang, Raya bahagia itu karena sudah punya pacar” Mya menyerobot kata-kataku
Mang
Arif tertawa lebar, sudah pasti mang tahu. Setiap kali makan di warung mang
Arif, aku dan Maya tak henti-henti meributkan persoalan pacar. Wajahku terasa
panas, mang Arif pasti sudah menebak perasaanku saat ini, apalagi mang Arif
tidak pernah melihatku berbicara lurus tentang cowok alias laki-laki. Mang Arif
tertawa lebar.
“pantesan
nang Raya bahagia, tuh mukanya sampe merah, oh.. sudah punya pacar toh. Bagus
itu. Mang senang daripada tiap mampir sini kerjaannya ribut mulu sama neng Maya gara-gara cowok”
Aku
hanya tersenyum lalu kembali menyantap bubur yang tinggal setengah mangkuk.
“mang
Arif teh senang, neng Raya sudah dapat pacar, tapi karna mang sayang sama neng,
mang nitip nasehat. Neng teh kudu harus hati-hati, neng sudah dewasa, orang
pacaran banyak godaannya. Hahaha… ” perkataannya diakhiri dengan tawa. Kali ini
dia melanjutkan perkataannya dengan wajah serius
“
neng, pasangan yang baik itu adalah pasangan yang saling menuntun. Dunia
akhirat, seiman atuh ya, jadi kan kelihatannya klop gitu. Serasi, wah kalo
ngebayanginnya mang jadi ingat masa dulu. Pas ngincar mbok kalian, mang disuruh
ngapalin sepuluh surah tiap apel, mang harus mau, kan calon mertua yang nyuruh.
Alhamdulillah tuh ternyata ada gunanya juga sampai sekarang, mang bisa jadi
iman yang baik buat mbok kalian. Ya meskipun cuma iman sholat dan imam
keluarga, mang mah bangga. Belum tentu mbok kalian dapat imam kayak mang, Ha….
Ha…. Ha…” kali ini mang tertawa lagi. Begitu bahagia tampak diwajahnya
Aku
menelan ludah. Sesak rasanya mendengar cerita mang Arif.
“Mang
kan sudah menganggap kalian anak mang sendiri, mang selalu berdoa semoga kalian
selalu bahagia, mang tinggal dulu yak, makan yang lahap” mang menyentuh pundak
kami lalu tersenyum dan beranjak ke kasir
“Mang
bulan puasa mau balik kebandung ya” Maya berteriak
“iya
mau jenguk mbok mu”
“kalo
gitu kabarin ya mang Maya mau ngasih oleh-oleh”
“sip
deh neng”
Aku
mendadak sedih. Otakku berkutak dengan bnayak pertanyaan. Tuhan dadaku terasa
sesak.
* * *
“
Maya tadi nelfon katanya, kamu mau jalan lagi sama dia”
Aku
mengangguk dan tersenyum pada Mama
“
bentar lagi kamu pulang, waktu buat mama mana ?”
Aku
kembali tersenyum
“
Mama punya waktu banyak sama Raya, Rayakan tinggal sama kita. Biarin aja ma..
namanya juga anak muda, kasih mereka kesempatan untuk bergaul, iya kan Ray”
Bapak mengambil alih pembicaraan
Aku
tertawa, mama memang selalu seperti itu. Saat-saat seperti ini membuat selalu
rindu rumah. tapi sungguh jauh dalam hatiku, aku selalu merasa jauh dari orang
tuaku saat aku memikirkan Arnold. Aku takut kehilangan semuanya, bagaimana
nanti aku menjelaskan kepada mereka ? ku hela nafasku dalam-dalam. Mama..
bapak.. maafkan aku.
“Raya,
Maya sudah didepan”
“
oh iya ma, kalo begitu Raya berangkat ya”
Setelah
kucium punggung tangan Mama, aku bergegas menemui Maya. Malam ini kami akan
mengunjungi mas Jojo.
* * *
“
Raya….. kamu dengar aku tidak ?” teriak Maya menyadarkanku.
Aku
hanya tersenyum padanya. Maya, aku tak sadar kau ada didepanku.
“
Raya, kamu tuh ngelamunin apa sih ? dari tadi kamu tuh senyum-senyum saja”
Tanya Maya padaku
“
Arnold kenal kamu darimana May ? ” aku balik bertanya padanya
“
Arnold ?, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan dia ?”
“
aku pengen tau aja, dia kenal kamu darimana ?” jelasku pada Maya
“
baiklah…”
Maya
memberitahuku bahwa Arnold adalah orang tak sengaja bertemu dengannya sebelum
berangkat ke Bandung. Mereka bertemu di bandara. Iseng-iseng mereka saling
bertukar nama twiter, katanya Arnold suka sastra tapi hanya untuk tambahan ilmu
saja, makanya, dia meminta Maya untuk bertukar ilmu dengannya. Maya pun setuju.
Dan saat itu mereka mulai bersahabat. Maya awalnya tidak menyangka, kalau
Arnold sekampus denganku. Dan akhirnya Maya menanyakanku pada Arnold.
Aku
jadi ingat waktu kemah arkeologi kemarin, kenapa Maya bisa tiba-tiba berada di
kemah itu, padahal aku tak pernah memintanya untuk datang. Rupanya Arnold sudah
jauh mengenalku dari yang aku bayangkan. Adanya banyak hal yang tak bisa aku
lihat hanya dengan menggunakan mataku. Buktinya ia bisa melakukan hal yang
lebih dari apa yang kubayangkan.
“
jadi begitu..” ucapku pada Maya.
“
kamu benar-benar serius jalan sama dia ?” tanyanya padaku
“
entahlah May, untuk saat ini aku hanya berharap aku masih bisa bersamanya”
kataku sambil mengangguk
“kamu
tahu kan, aku akan selalu mendukung apapun keputusan kamu, selama itu pilihan
yang terbaik untuk sahabatku” kata Maya sambil menyentuh punggung tanganku
“yang
benner nih.. ?” tanyaku padanya
Maya
mengangguk pasti. Aku hanya tersenyum padanya. Maya, aku tahu kau akan selalu
mendukung apapun keputusanku, tapi akan sulit untukkmu untuk mengerti jalan
fikiranku saat ini. Aku sudah bergeser dari Raya. Raya yang sekarang adalah
Raya yang benar-benar berbeda. Maya, aku sudah menemukan cinta yang dulu aku
cari. Cinta yang dulu aku ingin rasakan. Aku tahu kau pasti bisa melihat air
wajahku yang mulai berbinar itu karena aku telah bertemu dengannya. Aku sudah
menemukan hatiku.
“
tapi nggak minta dibayarin bakso mas Jojo kan ?”
“
dasar pelit” tuturnya padaku
“
May…. Aku senang bisa sahabatan sama kamu”
Maya
tersenyum, wajahnya terlihat berfikir
“Hari- hari itu telah berlalu..... Hari yang takkan pernah
terganti... Jika hari itu terulang lagi, mungkin kita hanya sekedar mengingatnya....
Mengingat sesuatu yang pernah terangkai..... Just to remember........ Kau dan
aku.. Pernah ada dalam satu cerita.. Cerita tentang persahabatan yang turus
abadi di sini, di hati kita.... Kenangan ini milik kita..... milik kita.....
dan kini dia berkata jangan lupakan aku... Sahabat.....”
Aku sedikit kaget mendengarnya,
“ gila, lama pacaran sama Gilang kamu ikut-ikutan
jadi pujangga”
Maya hanya tersenyum sumringah
“ lo sih, makanya baca buku khahlil Gibrab dong,
supaya bisa pinter ngolah kata kayak aku”
“ memangnya kahlil Gibran guru bahasa Indonesia apa
? tapi, keren kok May.. ” ucapku sambil tersenyum
*
* *