Selasa, 23 Desember 2014

Pelangi malam Hari : Cinta Itu Ada



 

Cinta Itu Ada

Setelah camping kemarin, aku berusaha menghidari Arnold. Bagaimana bisa ia memutuskan jadi pacarku sementara dia belum bertanya dengan jelas denganku. Apa aku mau atau tidak. Tidak adil rasanya. Jam istirahat, aku habiskan di asramaku, takut jika Arnold menemukanku di perpustakaan kampus. Kulirik jam tanganku, 15 menit mata kuliah dimulai, aku bergegas keluar kamar dan mengambil tasku yang tersimpan diatas meja. Sampai didepan pintu aku lalu mengunci pintu dan segera keluar dari asrama. Satu persatu anak tangga aku lewati, kali ini aku berjalan ke arah kampus, kupercepat langkahku. Ketika masuk ke gerbang kampus, terdengar seseorang menyebut namaku, akupun berbalik kearahnya, rupanya Arnold yang memanggilku. Kulihat wajahnya sekilas, lalu kembali menatap kedepan, aku berusaha untuk tidak memperdulikannya dan tetap berjalan ke ruangan kelas. Dia mengikutiku dari belakang,
“Raya, kamu kenapa ?” tanyanya berulang-ulang padaku.
Aku menghela nafas, berhenti sejenak karena dia mencegat langkahku. Kesal, dia selalu menggangguku, kualihkan pandanganku padanya dan tak menjawab pertanyaannya, kaki berlari kecil. Kali ini ia sudah berhenti dibelakangku, akupun masuk kedalam ruangan kelas, tanpa menoleh lagi padanya. Aku belum bisa bertemu dengannya. Setelah kejadian kemarin, hatiku menjadi tidak karuan, apakah aku harus berusaha untuk memutuskan hubungan ini ? tapi hubungan apa ini ? aku belum mengiyakan perkataannya, apakah itu bisa dianggap sebuah kesepakatan ? menurutku tidak, bukan seperti ini. Apa yang ia inginkan sebenarnya ?
* * *
Sama seperti tiga hari sebelumnya, aku masih terus menghindarinya. Aku sama sekali tidak perduli padanya apapun yang dia lakukan tetap saja membuatku tidak tertarik. Aku masih tetap menganggap hubungan yang ia ciptakan adalah kesepakatan yang tidak pernah aku buat. Aku semakin resah dengannya. Rasanya aku mulai membenci sikapnya yang selalu mencampuri urusanku. Dikantin tadi aku berniat makan bakso kesukaanku, lalu kutuangkan saos lombok kedalam mangkuk, aku baru saja menuangkan untuk kedua kalinya, Arnold mencegatku dan membawa botol saos yang susah payah aku ambil dengan mengantri. Setelah mendapatkannya ia bergegas pergi dan tersenyum kepadaku.
Aku melongos kesal, kenapa dia selalu menggangguku ? apa dia tidak punya urusan yang lain apa ? ujarku kesal. Aku jadi kehilangan mood, kuputuskan kembali kedalam kelas. Perut yang tadinya lapar mendadak hilang selera untuk makan. Besok apalagi yang akan dia lakukan denganku ? Sampai didalam ruangan aku duduk dikursi sambil melipat tangan, aku masih kesal dengan Arnold. Kudapati selembar kertas diatas meja ku. Aku lalu membacanya. “ dilarang membuang rejeki, dosa!” tulisan itu membuatku semakin kesal, mau tidak mau aku harus makan bakso yang aku tinggalkan dikantin tadi, akupun kembali ke kantin kampus. Arnold sudah berada dimeja tempat aku duduk tadi, dengan gaya santai seolah-olah tidak melakukan kesalahan. Sikapnya tenang tanpa bicara dan dia hanya menatapku sejenak, lalu menatap dalam-dalam mangkuk bakso yang ada dihadapanku, sikapnya membuatku tersinggung. Kupaksakan duduk berhadapan dengannya, kali ini aku harus menahan rasa kesal dan makan tanpa menghiraukannya. Hatiku benar-benar semakin benci dengannya, untuk apa dia melakukan ini semua ? aku semakin tidak enak hati padanya. Aku benci dengan caranya memperlakukanku. Ya, sangat benci.
* * *
Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun, kukucek mataku. Badanku terasa lemas, kepalaku lebih hangat dari biasa, tenggorokanku juga sakit saat menelan. Sepertinya aku kena flu. Kubuka kotak obat diatas meja, aku tidak menemukan satupun obat flu, aku lupa, seharusnya obat itu ada didalam kotak ini, lalu aku menyimpannya dimana ? tanyaku dalam hati. Jam sudah berada tepat diangka 7, kuputuskan untuk bergegas mandi dan berangkat ke kampus, hari ini kuliah dimulai jam delapan.
Selama kuliah berjalan aku sama sekali tidak bisa konsentrasi, kepalaku sakit. Setelah kuliah selesai, aku keluar ruang dan duduk di bawah pohon yang rindang sambil memegangi kepalaku yang sakit. Tenggorokanku terasa kering, aku berjalan ke kantin dan membeli sebotol air dingin. Setelah itu aku kembali duduk ditempat yang tadi sembil membuka segel minuman dingin. Baru saja ujung botol menyentuh bibirku, tiba-tiba tangan itu mengambilnya dari tanganku.
“ apa-apain sih ini !” ujarku kesal
Aku memandangnya dengan tatapan kesal. Dia lagi dia lagi, kenapa harus Arnold yang muncul dihadapanku ? Tanpa bicara, dia melemparkan sebotol air mineral dan obat kepadaku, dengan sigap aku menangkapnya. Dan sama seperti biasa, dia berlalu dari hadapanku. Aku sedikit kaget dengan yang dia lakukan. Darimana dia tahu kalo aku sedang sakit ? Kepalaku tersa berat lagi, aku duduk kembali. Ponselku berdering, kurogoh kantongku. Ada pesan, kubuka kotak pesan, “sudah tahu sakit masih saja cari penyakit”. Aku menelan ludah, kenapa kamu begitu perhatian padaku ? aku sudah bersikap tidak baik kemarin-kemarin padamu. Apakah benar kau menganggapku pacar yang harus selalu ada saat kau dibutuhkan ? tapi kita belum sepakat ? aku mengigit bibir, aku merasa malu pada Arnold. Merasa serba salah padanya, kutundukkan kepalaku, sekarang kepalaku bertambah pusing. Tuhan, apa yang harus aku lakukan ?
* * *
Seminggu setelah camping berlalu dan setelah dia memberikan obat padaku, Arnold tetap seperti biasa, muncul dihadapanku dan menyapaku. Yang berbeda, kali ini dia mulai banyak bicara, seolah-olah dia sudah bisa memenangkan hatiku. Aku ingat bagaimana sikapnya beberapa hari yang lalu dia banyak diam dan tersenyum seolah-olah mengejekku. Trik apa lagi yang ia akan lakukan ? Tapi aku harus tetap pada taktik awal, bersikap dingin dan acuh tak acuh padanya. Aku harus menunjukkan sikap tegas dengan tidak memberinya ruang untuk apapun dalam hatiku. Aku harus tegas, jika aku luluh padanya itu berarti aku harus berurusan dengan Tuhanku.
Aku tau ini tidak adil, tapi aku tidak bisa terus-terus dikejar rasa takut, jika aku menerima Arnold itu berarti aku telah melangkahi batas. Hatiku menjadi semakin panas, disisi lain aku mulai luluh dengan perhatiannya, tapi disisi lain aku takut menjalani hubungan ini, aku takut terjebak dengan ikatan yang disebut cinta. Aku sadar sejak awal aku memang mencari ini, tapi semakin dekat dengan cinta aku semakin takut mengikutinya, aku takut, benar-benar takut. Aku harus bisa bicara padanya, aku tidak boleh seperti ini, masih ada kesempatan aku belum terlambat untuk memutuskannya. Niatku sudah bulat, aku meminta Arnold untuk menemuiku di taman kampus siang ini, jantungku berdegup kencang. Aku sudah duduk dibawah pohon, berkali-kali aku melirik jam, Arnold belum muncul juga. Aku mulai gelisah, kupejamkan mataku berkali-kali, aku sudah tidak sabar untuk mengakhiri ini.
“ sudah lama ?” tanya Arnold padaku
Aku tidak menjawab, tanganku tiba-tiba saja gemetar. Mataku menatap matanya, ada rasa tidak ikhlas untuk menyudahi hubungan ini. Jujur aku sama sekali tidak rela. Otakku memutar cara untuk bicara dengannya. Aku sudah siap bicara padanya dan
“ aku tahu kamu pasti rindu, aku sudah bisa menebak dari wajahmu” tuturnya sambil mengusap wajahku
Kutepis tangannya dari wajahku, berani sekali dia menyentuh wajahku. Mataku menatap tajam, dan ucapannya benar-benar membuat aku kaget. Apa-apaan dia ? bagaimana bisa dia bicara seperti itu. Dengan senyum tak berdosa, dia mendongak ke arah wajahku, tangannya dilipat didada, lalu menatap mataku dengan wajah serius. Aku tidak bisa bicara banyak, sikapnya membuat aku bungkam. Kenapa aku harus gugup berhadapan dengannya ? nafasku terengah, tapi aku berusaha menenangkan diri dan tidak betindak bodoh, jika tidak dia akan semakin membuatku susah untuk melepasnya. Kualihkan pandangku kearah lain. Dia lalu mundur beberapa langkah dari hadapanku, dan melipat tangan kebelakang. Aku sudah siap dengan kata-kataku.
“ kita, harus bicara” kataku padanya
Lagi-lagi dia hanya tersenyum padaku. Seolah-olah dia sudah tahu, dia mengangguk pelan. Lalu merogoh ponsel yang sejak tadi berdering. Ia menjawab telefon dan berjalan membelakangiku, aku membuang nafas, otakku benar-benar hampir pecah, menahan sesak. Sulit sekali untuk mengatakannya. Ini adalah waktu tepat tapi aku masih belum bisa mengucapkan satu katapun padanya. Dengan sabar kutunggu Arnold kembali kehadapanku. Aku tidak boleh membuang waktu, jika hari ini gagal maka akan sulit untuk mencari kesempatan kedua. Arnold berbalik dan berjalan ke hadapanku.
“ aku sudah tahu, sudahlah aku balik ke kelas dulu, 5 menit lagi aku akan dihukum karena terlambat masuk kelas” ujarnya padaku
“tapi aku belum bicara” kataku kesal
“aku sudah tahu” balasnya sembari tersenyum
“ta-tapi…” cegatku
Tanpa perduli, dia berlari kecil menjauhiku. Kutatap dia dengan perasaan tak karuan. Sebelum menghilang dia berbalik kearahku lalu melambaikan tangan. Aku terduduk lemas, kututup wajahku dengan kedua tangan, aku menghela nafas, kesal dengan diriku sendiri yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan emas untuk bisa mengakhiri hubungan ini.  Ini sudah seminggu tapi aku belum juga bisa mengambil keputusan. Harus aku akui, perasaanku mulai luluh. Tapi aku harus tetap tegas dengan keputusanku, aku tidak boleh lemah dengan perasaan ini. Aku berusaha bangkit dari tempat duduk, dan mengambil langkah. Sesekali aku menatap ke atas, Tuhan ini pasti bukan cinta, aku yakin itu, bisikku dalam hati, kusunggingkan senyum meskipun rasanya benar-benar pahit. Tenang kesempatan itu pasti ada, ucapku.
* * *
Setelah gagal bicara dengan Arnold kemarin, aku menghindar darinya. Setiap kali dia berusaha mendekat denganku, aku terus menjaga jarak. Yang aneh, dia tetap saja tak terpengaruh. Sikapnya membuatku semakin khawatir. Aku mengendus kesal, kondisi ini membuatku semakin terjepit. Perlahan-lahan, pelan-pelan saja Raya, kamu harus percaya, kamu bisa mengakhirinya, percaya pada dirimu sendiri.
“ Raya, kamu kenapa ?”
“ nggak apa-apa” ucapku pada Marinka
“ Ray, boleh aku tau kenapa kamu terus menghindar dari Arnold ?”
Aku kaget mendengar pertanyaannya. Maaf Mar, aku belum bisa bicara padamu sekarang. Kubalas pertanyaan itu dengan senyuman, entah senyuman apa yang aku berikan padanya. Kutepuk bahunya lalu kutinggal dia. Aku berjalan masuk kedalam kelas, Ponselku berdering, kulihat nama yang muncul dalam layar, Maya ucapku senang. Aku mengangkat telpon. Suara Maya membuatku sedikit tenang. Jujur saat ini aku sangat ingin bicara padanya tentang semuanya, tentang perasaan yang kucari selama ini, tentang Arnold, tapi rasanya itu tidak mungkin. Kuputuskan untuk diam, walau sebenarnya aku butuh seseorang, tapi kali ini aku harus bisa memutuskannya sendiri,  aku harus menyelesaikannya sendiri.
* * *
Aku masih terus menjalankan aksi diam didepan Arnold. Arnold mulai khawatir melihatku, dia memutuskan untuk menjauhiku sementara waktu. Aku dan Arnold masih saja sama seperti biasa, saling bertemu tanpa berbicara satu sama lain, hanya ada senyum yang selalu ia hamparkan padaku menghilangkan rasa canggung dan aku tetap tak menghiraukannya. Sesekali Arnold menanyakan keadaanku. Keadaan ini sudah sangat menggangguku. Aku harus bisa memutuskan, tak mungkin terus menerus seperti ini. Aku menyibukkan diriku dengan kegiatan kampus. Satu bulan rasanya sangat singkat untuk berpikir. Aku masih saja belum bisa mengatakan iya pada hubunganku dengan Arnold, meski hatiku sudah jelas menginginkannya. Bagaimana aku harus menghadapi ini, aku punya pendirian yang tidak boleh aku lupakan, aku dan dia berbeda, sangat berbeda, dan itu yang membuatku berat untuk menerimanya. Itu semua aku lakukan karena aku paham dengan konsekuensi yang nanti aku terima. Aku sangat faham itu, kami tidak akan mungkin bisa menjadi satu, bukan karena aku tidak bisa mencintainya, tapi karena cinta kami tak punya tempat sama sekali.
Semalam Marinka menititipkan amplop dari Arnold. Tapi aku belum membukanya. Lepas jam kuliah selesai aku beranjak ke taman kampus, aku duduk dibawah teduhnya pohon sembari membuka amplop titipan Arnold. Aku membacanya ternyata dia telah mendaftarkan aku untuk kemah arkeologi. Sekedar untuk menghibur diri, dan melepaskan sejenak fikiran tentangnya. Aku tahu aku banyak salah padanya, tapi aku punya alasan yang kuat untuk menutupi rapat-rapat gejolak dalam hatiku. Dia hanya berpesan padaku untuk menemui seorang anak yang namanya tak ia tuliskan. Ia menginginkan aku untuk kenal dengan anak, yang dia sebut sahabat kecilnya. Aku juga akan mendapatkan hadiah istimewa disana.Entahlah, tapi aku harus berterima kasih padanya. Mungkin aku akan menemukan jawaban disana. Benar aku senang sekali mendapatkan hadiah ini, apalagi kemah arkeologi, dari mana Arnold tahu, kalau aku suka semua yang berbau sejarah ?
Sambil berlari-lari kecil aku melihat ke kiri dan kanan, aku ingin mengucapkan terima kasih padanya. Akhirnya aku menemukannya. Semakin dekat jantungku semakin berdebar kencang, mungkin ini pengaruh nafasku yang terengah-engah.
“ Arnold “ panggilku padanya
“ hai, kamu sudah dapat titipanku kan ?” tanyanya padaku
Aku lalu menunjukkan amplop titipannya sambil tersenyum
“ baguslah” Arnold tersenyum padaku
“ terima kasih “ jawabku
Dia lalu mendekat ke arahku. Tangannya lalu ia letakkan di atas kepalaku, sambil mengusap rambutku lembut. Aku merasa tenang, dia cukup mengerti aku. Arnold pun berlalu. Tiba-tiba ada perasaan rindu yang timbul ketika ia menghilang di antara kerumunan mahasiswa yang tepat berada di depanku. Tuhan kali ini berikan aku jawabannya. Aku ingin semuanya berakhir. Tolong katakan aku tidak akan kalah oleh perasaan ini.
* * *
Pagi mengantarkan mentari seolah kembali berputar dipusaran bumi, membangunkan mata yang masih terpejam. Udara kota pagi ini begitu tak bersahabat, mentari yang panas tertutup awan gelap pertanda mendung.
”hey, pagi-pagi jangan melamun. Tendanya sudah dibereskan kan ?” ujar Maya membuyarkan lamunanku.
“iya bu......” jawabku ketus.
“eh Raya, kamu tahu tidak agenda kunjungan arkelogi kita hari ini apa ?” Maya kembali bertanya kepadaku.
“iya bu Maya, Raya tahu” jawabku datar
Iya pun tersenyum sambil menggandeng tanganku menuju bis yang akan membawa kami ke salah satu bangunan bersejarah di kota Selayar. 30 menit bis melaju, akhirnya sampai juga ditempat tujuan. Aku kembali tercengang. Ini tempat kunjungan arkeologi kali ini ? apa hebatnya ? tanyaku dalam hati.
Semua peserta kemah arkeologi berbondong-bondong memasuki bangunan tua yang nampak kokoh ditengah hirup pikuk kota kecil ini, di pandu kepala rumah tahanan kota Selayar dan didampingi para pendamping peserta kemah.
“Raya, ayo....!” ucap Maya mengagetkanku.
Akhirnya, setelah mengalungi kartu pengunjung kami pun diajak berkeliling rumah tahanan atau lebih tepatnya penjara. Aku kembali memandangi satu persatu sudut tempat ini. Terawat dan banyak menyimpan sejarah, bangunan tua dengan aksitektur belanda yang masih terasa kental, kata yang terujar dari bibirku. Tiba-tiba pandanganku terhenti pada satu ruangan yang dihuni para narapida, mungkin terlalu kasar, ya mereka para tahanan bangunan tua ini. Ku lihat semua orang didalam ruangan itu sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, saling acuh dan tak bersahabat. Kecuali anak kecil yang berada dekat dengan jendela. Kelihatannya ia begitu tertekan berada ditempat ini. Aku mencoba mendekatinya, tapi ibu penjaga melarangku.
”jangan dekati dia, kemarin salah satu pengunjung terluka akibat ulahnya.. !” kata ibu penjaga.
Aku terdiam sesaat, dan.....
“Eh , saya ini bukan orang gila bu, dan kemarin itu bukan ulah saya...!” ujar anak kecil itu.
Aku tersenyum kepada ibu penjaga, dengan hati-hati kukatakan padanya,
“bu boleh saya bicara dengannya ???”
Ibu penjaga sedikit keberatan mendengar ucapanku, namun akhirnya iapun memberi izin.
“ingat, jaga jarak ya dengan dia” katanya memperingatiku.
Aku pun berjalan mendekati jendela, tentunya dengan tetap menjaga jarak, aku tahu, pasti ibu penjaga itu masih terus mengawasiku dari jauh. Aku membuka pembicaraan dengan hati gemetar dan takut, bayangkan ini adalah kali pertamanya dalam hidupku berhadapan dengan seorang tahanan, meskipun ia seorang tahanan kecil.
“masuk sini gara-gara apa ?” tanyaku canggung menjaga jarak.Ia sedikit heran dengan pertanyaanku, mungkin dia kebingungan harus mulai darimana. Lalu ia menerawang ke atas,
“mencuri sendal....”jawabnya enteng
Aku tersentak
“hanya gara-gara itu ??? kok bisa ???” balasku terheran-heran
“saya juga tidak tahu, mungkin bapak berjas itu mengira saya ini koruptor.” jawabnya polos
“benarkah ?? ternyata hal sekecil itu bisa jadi masalah besar” jawabku aneh dan tidak nyambung
“kakak percaya atau tidak ya begitulah,  saya juga masih heran. Padahal anak kecil seperti saya, hanya butuh sedikit keadilan, andai bapak berjas itu tidak mengetuk palu, pasti saya tidak akan terkurung dalam kerangka besi ini, dan andai mereka mau mengampuni, dengan senang hati saya akan mengembalikan sendal itu, tapi jadinya ya seperti ini, hidup ini salah, apa boleh buat saya ini orang kecil, mau makan susah, jalan satu-satunya ya mencuri.”
Aku tercengan seolah tak percaya, heran. Ternyata hal itu nyata di tempat ini. Aku tertawa dalam hati, hal ini begitu menggelitik dan miris, di kota sekecil ini hukum tak tanggung-tanggung, aku mengira itu hanya cerita fiktif yang sengaja dibuat-buat untuk menjatuhkan pamor seorang hakim agung. Kasian anak itu, hanya demi mengisi perut kosong, ia harus mencuri dan mendekam dalam jeruji besi di balik bangunan tua ini. Entahlah dia memang salah, tapi apakah hukuman seperti ini layak ia terima di usia yang masih muda ??
Biarlah, aku juga tak berhak berkata apapun, hukum ini bukan hukum nenek moyangku, hukum ini adalah hukum yang berlaku di negara ini. Tapi jika hukum setegas ini kenapa coba koruptor masih meraja di negara ini ?? Apakah ini hanya persoalan uang semata, atau ?? sekali lagi entahlah hanya penguasa negeri ini yang tahu.
“kak, boleh minta makanan tidak ??´tanyanya padaku polos
“makanan ??” ku rogoh tas coklatku, melihat apakah ada sesuatu didalamnya, akhirnya aku menemukan sebungkus roti, mungkin ini cukup, ucapku dalam hati seraya memberikan sebungkus roti padanya.
“makasih kak” ucapnya tersenyum
Ku ulurkan tanganku padanya
“kak Raya, kamu boleh panggil saya kak Raya” ucapku padanya
“saya Mamat, makasih rotinya kak” jawabnya tersenyum menjabat tanganku
Aku tersenyum kecil menatapnya. Maya lalu muncul kehadapanku, lalu mengajakku pulang. Waktu berkunjung sudah habis, kami harus kembali ke perkemahan tepat sebelum jam makan siang. Sebelum pulang kubalikkan badan, melambaikan tangan pada Mamat.Walaupun itu hanya sekedar lambaian perpisahan. Setidaknya, untuk memberinya semangat dan membiarkannya tetap bermain dengan sang asa. Semoga saja dia mengerti maksudku. Langkahku pun mengayun menutupi segudang pertanyaan bergelayut dalam benakku.
Hari ini, pertemuan singkatku dengan Mamat memberiku pelajaran yang sangat berharga, lewat harapan-harapan yang terbesit jelas dibawah garis senyumnya. Mencoba menerangkan padaku, bahwa ia akan bertahan seberat apapun deraan yang menimpanya. Meskipun ia tahu, kalau tubuhnya akan semakin rapuh terkurung dalam kerangka besi seperti ucapannya.
Ternyata siang membawa cerita miris dan menggelikan, hujan pun turun membasahi jalanan. Mungkin ini isyarat bahwa tak selamanya mentari yang bersinar terang itu akan memberi panas pada bumi, tapi terkadang mendung muncul sebagai tanda bahwa bumi butuh air untuk menyiram penat panas yang melingkupinya. Seperti Mamat yang menyunggingkan senyum pelepas beban dibalik himpitan masalah yang ia pun tak mengerti. Tuhan tunjukkan jalan baginya, aku tahu engkau tak pernah tidur, kau selalu ada untuk seorang Mamat. Setidaknya untuk menjawab pertanyaan anak kecil sepertinya. Tegakkan harapannya, sambutkanlah doanya meskipun itu hanya seutas asa di balik tembok tua.
Hujan semakin deras mengguyur, seperti ingin menyirami kuntum-kuntum asa anak bumi. Mengais harapan di tumpukan mimpi buruk, tetap berkhayal walaupun akhirnya harus terjatuh dalam senyum pahit. Nyatalah engkau mimpi, sambut setiap asa anak negeri yang meraung*.
* * *
Rupanya, Arnold ingin mengajarkan aku arti cinta yang sebenarnya. Cinta kepada orang asing. Ya Cinta bukan hanya milik sepasang kekasih, tapi milik hati yang mau saling memahami. Aku mengerti sekarang. Aku mencintai Mamat, karena aku memahaminya, cinta untuk anak kecil yang baru saja berkenalan denganku. Arnold benar-benar membuat kejutan untukku, darimana ia tahu sahabatku Maya, bagaimana ia bisa meminta Maya untuk datang ke acara kemah itu. Arnold kenapa tiba-tiba kamu menjadi istimewa dimataku ?  Tapi, maafkan aku, aku tetap harus tegas, perasaan ini harus aku kubur. Aku sadar, aku sudah melakukan kesalahan yang besar, seharusnya aku tidak jatuh cinta padamu. Kupejamkan mataku kuat-kuat, mencari jalan yang harus aku lakukan. Bagaimana caranya agar aku bisa lepas dari semua ini ? kugigit bibirku, Tuhan berikan aku satu kesempatan lagi.
Kuputuskan, aku harus merubah taktik. Aku berbalik mencari jalan untuk bisa membuatnya sakit dengan cintanya sendiri. Terdengar kejam, tapi aku berfikir ini adalah cara yang paling baik, walau pada akhirnya, aku juga akan merasakan sakit yang sama. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku, Arnold kenapa harus kamu ? air mataku jatuh. Aku berjalan ke bibir tempat tidur lalu duduk dekat jendela, menatap bintang. Membayangkan pelangi ada diatas langit, apa mungkin bisa ? apa mungkin pelangi bersinar di malam hari ? apa mungkin cinta yang mulai tumbuh dihatiku bisa selamanya bersama ? kenyataan tak akan seperti ini. Kami berbeda, kami tidak sama. Apa mungkin kami bisa satu ?. Air mataku kembali jatuh, kuat-kuat kutahan sesak dalam dadaku. Sakit rasanya memendam cinta. Kubaringkan tubuhku dalam tidur. Aku ingin melepaskan sejenak bebanku. Arnold maafkan aku.
Semenjak saat itu aku pelan-pelan mulai mendekatkan diri padanya. Setidaknya untuk mengenalnya lebih jauh. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Aku memang belum tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini, bagaimana cara agar dia bisa merasa sakit. Tapi aku harus yakin dengan keputusanku. Semakin hari aku semakin memikirkannya. Aku jadi sering rindu dengan gelak tawa dan leluconnya. Hatiku sedikit demi sedikit meracuni otakku untuk luluh dengan hatinya. Kupejamkan mataku kuat-kuat, aku harus tetap bersikeras untuk memutuskan hubungan ini dan berhenti berpura-pura.
“hei…. Melamun saja, bagaimana kemahnya ? banyak hal baru kan ?” tanyanya padaku
“ hm… ternyata, kamu daftarin aku ke kemah itu gara-gara anak yang sering kamu kunjungi itu kan ?” tatapku padanya.
“ hm, tidak juga…., ayo ah lapar, dari tadi aku nungguin kamu di kantin, gara-gara kamu nggak muncul aku susulin kamu kesini, ayo…. Aku lapar” rengeknya padaku
Arnold, dia tidak berubah, dia tetap menjadi manusia paling misterius untukku. Kali ini aku percaya, lewat dia aku mengerti, cinta mengajarkan waktu untuk terus bergerak meski ia tetap tertinggal di barisan belakang. Cinta mengajar kita, bahwa cinta itu bukan hanya sebentuk bongkahan rindu dan perasaan saling sayang. Tapi cinta itu ada jika dua hati mampu untuk saling memahami dan saling mengisi. Sayang, aku harus mengakhiri semua ini, maafkan aku Arnold. Aku merasa kamu benar tentang cinta tapi aku, tidak berhak untuk menerima semua ini, aku tidak bisa menjalani hubungan ini. Meski kita akan menjadi satu dalam cinta tapi kita tetap berbeda dalam agama.
* * *
“ semenjak pulang dari kemah, kamu nyuekin aku, lama-lama aku jadi curiga nih, jangan-jangan kamu ada affair sama adek baru kamu, cemburu nih” ujar Arnold
“ kamu tu yah, bicara selalu aja nggak pake otak. Dasar jelek” jawabku
“ Ray, aku bicara serius ”
“ Ar,… Hahahahahaha…. Udah deh nggak penting tau”
“ kamu tuh”
“makanya jangan cemburu sama anak kecil”
“ kamu sayang aku kan ?”
Aku tersentak, tawaku terhenti. Kali ini aku tidak menjawab, aku bergegas pergi dari hadapannya. Jika terus-menerus seperti ini, bagaimana bisa aku menarik diri darinya. Ini waktu yang tepat, tidak akan lagi kesempatan jika aku melewatkannya lagi. Aku mengatup bibirku kuat-kuat. Aku harus bisa membuat kesempatan, harus bisa. Lebih baik aku sakit sekarang daripada penyesalan akan menertawaiku, tenang Raya, kamu sudah pernah mengalaminya. Jangan takut, rasa sakit itu tidak akan lama, kamu akan segera bangkit sama seperti saat David dulu, tuturku dalam hati.
* * *
Pagi-pagi aku sudah bangun, lepas subuh tadi mataku sulit terpejam. Kepalaku terasa, kutatap wajahku di dalam cermin, mataku terlihat bengkak. Kukedipkan beberapa kali, mataku terlihat lebih kecil dari ukuran aslinya, aku tertawa menatap wajahku sendiri, kuambil satu botol air mineral dalam kulkas, lalu kubasuh diwajahku. Aku meringis perih, dingin sekali. Ku usap wajahku dengan handuk, lalu kuperiksa kembali bagian mataku, lumayan sudah tidak bengkak lagi. Kulirik jam tanganku,m asih jam setengah enam pagi.
Setelah bersiap-siap, kupakai sepatu olahragaku dan jaket biru yang tergelatak diatas kursi, Aku bersiap-siap keluar kamar. Udara pagi diluar asrama lebih sejuk. Aku berjalan ke arah perbukitan dekat kampus. 20 menit kuhabiskan waktuku berjalan kaki, lelah tapi begitu sampai diperbukitan ini, aku merasakan persaan damai, rerumputan hijau dan bunga yang bermekaran, udara pagi yang sejuk, ada kehangatan yang menyelimuti rasa takutku. Jika mengingatnya, kepalaku serasa ingin pecah. Aku duduk diatas rumput hijau, kubaringkan sejenak tubuhku. Kurentangkan tanganku ke arah samping. Kututup mataku, andai aku bisa memilih, aku akan memilih Arnold. Perhatiannya membuatku selalu membutuhkannya. Dan entahlah, saat berada dekat dengannya, jantung berdegub semakin kencang. Sebesar apa cinta yang aku miliki untuk Arnold ? tapi, aku tetap tidak bisa. Kubuka mataku, panas matahari mulai terasa , aku bangun dan duduk sejenak.
“ pagi Ray !”
Aku tersentak, cepat-cepat aku berdiri lalu berlari menjauhi suara itu, saking takutnya aku berlari tanpa melihat apa yang ada didepanku. Kakiku tersandung batu, aku jatuh dan menahan sakit. Sakit sekali rasanya.
“ Raya, maaf. Kamu tidak apa-apa ?”
Kepalaku mendongak kearahnya, Arnold ? kenapa dia ada disini ? rupanya dia mengikutiku. Aku kembali menunduk, tanganku memegangi kaki kiriku yang tergilir. Sakit sekali rintihku. Kucoba untuk berdiri, tapi aku terjatuh, kucoba untuk kedua kalinya, aku terjatuh kembali. Sakit sekali. Aku merintih. Arnold mencoba membantuku, tapi aku menolaknya, ini semua gara-gara dia, kenapa dia ada disini ? ketusku dalam hati. Kucoba lagi untuk berdiri, tapi aku tetap saja terjatuh. Aku dudk lemas, kakiku sakit sekali. Bagaimana ini ? bagaimana aku bisa pulang.
Arnold lalu menarik kakiku.
“kamu mau apa sih ? ini semua gara-gara kamu, kenapa juga kamu bikin aku kaget ?, kalau kamu tidak berulah, aku tidak mungkin lari ketakutan, dan tersandung batu” kataku sedikit emosi
Arnold diam
“kamu dengar tidak ? please, tolong lepaskan kakiku, aku tidak butuh bantuan, aku mau pulang !” kataku sekali lagi
Arnold menatapku, lalu menggulung ujung celana panjangku. Dia memperhatikan dengan teliti bagian yang memar di kaki. Dia menekannya, rasanya sakit sekali, dia lalu memijit pelan pergelangan kakiku, lalu mengerakkannya kearah yang berlawanan. Awalnya terasa sakit sekali, tapi setelah itu, rasa sakit kakiku berkurang. Arnold lalu membelakangiku.
“naik kepunggungku” pintanya padaku
Aku heran dengan ucapannya. Aku tak menghiraukannya. Kualihkan pandangku kearah yang lain. Arnold menatapku, dan mengisyaratkan agar aku naik diatas punggungnya. Aku menggeleng, dan masa bodoh dengan ucapannya. Tanpa memperdulikan aku, dia lalu mengangkatku dengan kedua tangannya,
“Arnold kamu apa-apaan sih ?” tanyaku kesal
Dia tetap saja diam, kuulangi pertanyaanku untuk kedua kalinya. Dia lalu menurunkanku. Lalu menatapku serius.
“kamu berat juga, makan berapa kali sih sehari” katanya sambil memperhatikan tubuhku.
Aku geli mendengar ucapannya. Kali ini aku tidak bisa menahan tawa, diam-diam aku perhatikan wajahnya. Arnold apakah cinta itu berarti sakit ? tuturku dalam hati. Arnold memandangku, wajahnya terlihat aneh, ia mengkerutkan dahi.
“ naik kepunggungku” ucapnya padaku
“ kamu yakin tidak akan menyesal, jika aku naik kepunggungmu ?” tanyaku padanya
Dia menatapku lagi, kali ini wajahnya terlihat bingung.
“ aku tidak mau menyesal” katanya padaku
“ jadi ? ” tanyaku padanya
“ kalau begitu, baiklah, sampai jumpa. Aku balik duluan” katanya enteng.
Dia berjalan menjauhiku, lalu melambaikan tangan. Bodoh, kau benar-benar bodoh. Bagaimana caranya aku pulang kalau begini. Aku mencoba untuk bangun, kali ini aku berhasil. Aku berjalan, tapi baru empat langkah, aku jatuh. Aku bangun lagi, kucoba berjalan lagi. Tapi tetap saja aku jatuh. Aku sudah sendiri ditempat ini. Kemana Arnold ? cepat sekali dia menghilang.
“Arnold” teriakku kesal
Tiga kali kupanggil namanya, tapi tak ada jawaban. Sial dia meninggalkan aku ditempat ini sendirian. Kulihat sekeliling, tapi sama sekali tidak ada orang. Kurogoh saku celanaku, tapi aku tidak menemukan ponselku. Kurogoh saku jaketku, aku hanya menemukan kunci kamarku. Kesal, aku lupa membawa ponselku. Aku ingat, aku meletakannya diatas kursi saat memakai sepatu. Matahari semakin meninggi, udara jadi lebih panas, keringatku mengalir. Sekali lagi aku berteriak memanggil nama Arnold, tapi dia tidak kunjung muncul. Kesal rasanya menolak bantuannya, tapi seharusnya dia ada disini, jika bukan kerena dia, kakiku akan baik-baik saja, celotehku.
“butuh bantuan ?”
Aku melihat kearah sumber suara, rupanya Arnold. Aku senang dia tidak meninggalkanku sendiri. Dengan wajah tidak berdosa, dia menyuruhku, naik keatas punggungnya, aku tak bergeming.
“ ya sudah kalau tidak mau, benar-benar susah bicara sama cewek keras kepala” katanya sambil meletakkan dua jarinya dijidatku lalu mendorong kebelakang.
Tanpa bicara lagi, dia berjalan menjauhiku.
“ ya, aku mau” tuturku kesal.
Dia berbalik kearahku dan tersenyum licik. Aku naik ke punggungnya. Lalu melingkarkan tanganku di lehernya. Sebenarnya aku malu menerima tawarannya, tapi hanya dia yang ada disini. Tidak ada orang lain lagi.
“ tidak usah sungkan” ucapnya padaku
“apa ?” tanyaku
“ tidak usah sungkan Raya”
Aku tidak menjawab.
“ kamu berat juga, makan berapa piring sih ?” tanyanya padaku
“ mau tau saja”
“ badan kamu kecil tapi beratnya minta ampun” ujarnya lagi
Aku diam menahan tawa. Rasakan, makanya jangan bandel kalo dikasi tau. Bisikku dalam hati, lagi pula siapa suruh sih, kamu bikin aku kaget sampai-sampai aku harus lari dan jatuh kesandung batu.
“turun disini saja ya Ray, aku sudah capek” katanya padaku
“ trus aku pulangnya bagaimana dong?” tanyaku
“ hahaha” tawanya, sambil terus berjalan menggendongku.
* * *
Aku tidak bisa berhenti tertawa, membayangkan wajah Arnold yang merah akibat menggendongku sampai ke asrama. Beberapa kali dia berhenti dijalan, untuk mengambil nafas. Sebenarnya aku kasihan melihatnya tapi mau bagaimana lagi, kakiku sakit dan aku tidak kuat jalan. Sampai diasrama, dia masih menjagaku. Dia membersihkan kakiku, lalu mengompresnya dengan air hangat, untuk menghilangkan bengkaknya. Jujur belum pernah ada yang memperhatikan aku seperti ini. Aku tersanjung dengan sikapnya. Setelah mengompres kakiku dengan air hangat, dia bergegas ke apotik membelikanku salep. Arnold, apakah yang kau lakukan ini cinta ?
Kupandangi salep pemberiannya yang masih utuh, entahlah, aku tidak ingin memakainya, sebagai gantinya aku meminta Marinka untuk membelikanku salep yang baru. Aku masih terus mengingat kejadian itu padahal itu seminggu yang lalu. Sekarang kakiku sudah sembuh. Aku merasa beruntung memilikinya, tapi aku sudah berjanji untuk memutuskannya. Dan aku tidak bisa melanggar janjiku. Aku masih ingat, kami tidak akan pernah bisa jadi satu. Memang benar, itulah kenyataannya. Aku dan Arnold tidak akan bisa menjadi satu, aku selalu membayangkan dia akan masuk dalam aqidahku, tapi apakah mungkin ?. Kugelengkan kepalaku.
Bila cinta mendatangimu, ikuti dia. Walau jalannya sulit dan terjal. Ketika cinta memahkotaimu, ia akan menyalipmu. Cinta membuatku mengetahui rasa sakit dari kelembutan. Cinta membuatmu berdarah dengan bahagia dan nikmat. Cinta membuatmu terbangun saat senja dengan hati bersayap dan berterima kasih atas hari yang suka cita. Ketika kau mencintai janganlah berkata, Tuhan ada dalam hatiku, berkatalah aku ada dihati Tuhan. Karena hati hanya cukup untuk cinta.
“ suka baca buku Kahlil Gibran juga ?” Tanya seseorang disampingku
“ ah, lumayan suka. Tapi nggak pernah koleksi sih “ jawabku
“ trus, kamu beli buat siapa?” Tanyanya lagi
“ buat temen, ya sudah aku duluan” kataku tersenyum padanya.
Tiba-tiba saja aku teringat, kata-kata itu, kata-kata yang ada dibuku kahlil Gibran, ya aku ingat dengan jelas. Aku pernah membacanya saat bertemu dengan Gilang ditoko buku, tepat sebelum aku belum mengenalnya sebagai pacar baru Maya. Apakah benar seperti itu ? tanyaku dalam hati. Aku tidak boleh larut dalam cinta. Aku harus teguh dengan pendirianku. Aku harus teguh. Kuusap wajahku, kenapa rasanya sakit ?
“ Raya,.. ayo masuk, kok melamun disini” ujar Marinka
“ Marinka, ah iya,…” ucapku sambil tersenyum
* * *
Aku menunggu Arnold keluar dari kelasnya. Sudah sejam aku duduk disini. Ada hal penting yang harus aku biacarakan padanya. Aku harus bicara, jika tidak aku semakin tidak bisa lepas dari belenggu ini.
“Raya, kamu ngapain ?“
“ Mar, kau….. “
“ hm… aku tahu, ya sudah aku balik dulu ya Ray”
Aku mengangguk. Kulirik lagi jam ditanganku. Kenapa waktu jadi terasa lama seperti ini ? Akhrnya Arnold keluar dari ruangannya, aku mendekatinya dan meminta dia ikut denganku. Aku sudah sampai ditaman kampus. Kali ini aku menatapnya tenang, hatiku menjadi ragu lagi ketika berada didepannya, keputusanku sudah bulat, lebih cepat akan lebih baik.
“ maaf, aku kira, kita tidak cocok. Aku sudah cukup mencobanya” ucapku padanya
Arnold melihat kearahku lalu tersenyum.
“ aku tidak sedang bercanda, mulai saat ini kita tidak ada apa-apa lagi, lagi pula, aku belum menjawab pertanyaanmu kan ? kita belum sepakat untuk pacaran, jadi aku mohon berhenti mengejarku.” ucapku sedikit menyesal
Arnold diam
“aku sudah selesai dan, dan terima kasih untuk semua“ kali ini aku bergegas pergi.
Kubalikkan badanku dan kulangkahkan kakiku. Arnold menarik tanganku, aku mencoba melepaskan genggamannya. Dia semakin kuat menggenggam tanganku. Kucoba melepaskan tangannya dengan kedua tanganku. Aku mulai meronta, tapi Arnold tetap menggenggam tanganku. Seberapa kuat aku melepasnya, semakin kuat pula ia menggenggam tanganku. Aku lelah, wajahku menjadi merah padam. Lalu Arnold melepaskan genggamannya.
“ sakit ? ” tanyanya geram.
Aku tak bergeming, aku takut menatap wajahnya, kali ini Arnold yang melangkah menjauhiku. Kupenjamkan mataku mendengar ucapannya, jangan bodoh Raya, ini kesempatan emas. Ini tidak akan sakit, percaya Raya, kukuatkan hatiku menghadapi kenyataan. Sebelum semuanya terlambat, hatiku berkecamuk, kenapa aku merasa sakit Tuhan ?. Perutku tiba-tiba terasa sakit, aku memegangnya kuat-kuat. Tanganku mulai terasa dingin, semuanya dingin. Kugigit bibirku yang sejak tadi mulai bergetar. Keringatku mengalir deras, badanku menjadi semakin dingin. Lemas sekali, aku kehilangan tenaga. Sakit sekali perutku bisikku dalam hati, kucoba untuk berjalan, langkahku sempoyongan. Aku mulai kehilangan keseimbangan dan jatuh. Semuanya menjadi gelap seketika.
* * *
Aku membuka mata, ruangan yang aku lihat, terasa asing.  Kututup kembali mataku lalu perlahan-lahan aku buka. Aku baru sadar ini rumah sakit. Badanku masih lemas, kepalaku masih terasa berat, kulihat jarum infuse melekat ditanganku. Aku berusaha bangun, lalu Marinka muncul dari balik pintu.
“ Raya…” ucapnya girang mendekatiku
Aku hanya tersenyum kecil padanya. Perutku kembali terasa sakit, aku menahannya kuat-kuat, Ia membantuku untuk bangun. Pelan-pelan kusandarkan punggungku. Marinka lalu berlari mencari dokter yang menanganiku. Satu menit kemudian dia sudah berada datang bersama perawat dan dokter. Dokter memeriksaku dengan seksama, lalu memberiku suntikan agar aku merasa tidak sakit lagi.  Tubuh menjadi lemas, aku hanya diam dan mengatupkan mulut rapat-rapat. Dan bertanya dalam hati sakit apa aku ?
“ perkembangan yang cukup bagus, sudah beritahu orang tuanya ?” tanya dokter pada Marinka
“ belum dok” jawab Marinka
“ kalau begitu, beritahu orang tuanya, syukurlah teman kamu baik-baik saja. Tidak ada masalah lagi dengan lambungnya” jelas dokter
“ makasih banyak dokter” jawab Marinka
Setelah berpamitan, dokter dan perawat beranjak keluar dari kamar perawatanku. Marinka terlihat senang, dia tersenyum menatapku.
“aku sakit apa Mar ?” tanyaku padanya
“ kata dokter ada peradangan gitu di lambung kamu, karena kamu sering telat makan, banyak makan asam dan lombok, stress juga” jelas Marinka
Aku mengangguk pelan. Aku melanjutkan bicara pada Marinka, aku memintanya agar tidak memberitahu orang tuaku. Lagi pula kondisiku sudah membaik. Aku tidak mau mereka khawatir, Marinka mengiyakan. Marinka cukup mengerti aku, aku senang punya sahabat seperti dia, meskipun baru kenal dan dekat dengannya, tapi dia sangat memahami aku.
* * *
Sudah seminggu aku dirawat dirumah sakit. Setiap hari aku harus makan makanan rumah sakit yang rasanya hambar. Sesekali Marinka membawakan aku makanan yang dia buat di asrama. Selama seminggu terakhir dia menemaniku dirumah sakit. Sering aku memintanya untuk istirahat diasrama saja, karena aku tidak tega melihatnya berbaring diatas sofa, dan sering aku bangunkan tengah malam, untuk menemaniku ke kamar kecil, tapi dia selalu berdalih, tidak kerasan tinggal diasrama karena aku tidak ada.
Bosan rasanya tinggal dirumah sakit, tidak ada kegiatan apapun. Yang aku lakukan hanya beristirahat ditempat tidur. Benar-benar membosankan. kuputuskan berjalan-jalan keliling rumah sakit, sambil memegang botol infuse. Aku duduk di kursi panjang, sambil memandangi pasien lain yang berjalan mondar mandir dibantu perawat rumah sakit. Pikiranku tiba-tiba tertuju pada Arnold, kenapa dia belum datang juga menjengukku ?. aku ingat saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Tatapannya yang tajam, aku tahu ia membenciku. Lagipula untuk apa dia datang menjengukku, kami sudah tidak ada hubungan lagi. Semuanya sudah berakhir. Air wajahku berubah sedih. Apakah aku telah melakukan kesalahan ? tapi aku ? Tuhan, kenapa aku merindukannya, teramat merindukannya.
Aku beranjak dari kursi dan kembali kekamar, sampai dikamar kurebahkan badanku diatas tempat tidur. Kupejamkan mataku berkali-kali. Pikiranku kembali tertuju pada Arnold. Aku berusaha menepis bayangannya. Aku tidak boleh begini. Saat aku berbalik, tiba-tiba saja ada tangan yang menutup mulutku. Aku tersentak lalu berbalik, Arnold ucapku tidak jelas, karena mulutku tertutup tangan. Bahagia rasanya dia datang, aku tersenyum. Dia menempelkan jari telunjuknya ditangannya. Akupun mengikuti gerakaran tangannya. Dia memberikan aku jaket dan menyuruhku memakainya. Dia mengajakku keluar, awalnya aku tidak berani, tapi dia berjanji akan membawaku pulang tepat jam sepuluh malam. Aku mengangguk, kulepaskan jarum infuse ditanganku. Lalu mengikutinya dari belakang. Pakaian rumah sakit membuatku gampang dikenali, untuk itu dia membawakan aku jaket. Kami berjalan sembunyi-sembunyi, dia merangkulku lalu memakaikan kupluk jaket ke atas kepalaku. Aku tidak sengaja bertemu dengan dokter yang merawatku, kami lalu putar haluan. Aku tidak bisa menahan tawa, melihat apa yang dilakukan padaku. Kupandang wajahnya dengan senyuman bahagia. Entahlah, aku merasa sangat bahagia.
Beberapa saat kemudian kami sudah berada di depan rumah sakit, aku melepaskan kupluk yang sejak tadi menutupi rambutku. Kami tertawa, sejenak lalu berlari kecil menjauhi rumah sakit. Aku tidak berfikir kemana ia akan membawaku. Yang aku fikirkan adalah bagaimana caranya menghabiskan waktu ini dengannya. Aku terlalu bersemangat lari, aku tidak sadar kalau aku belum sembuh benar. Perutku terasa sakit, akupun duduk sambil memegangngya.
“sakit lagi ya ?” tanya Arnold padaku
Aku hanya mengangguk. Dia lalu menyuruhku naik keatas punggungnya. Aku menurutinya. Kusandarkan wajahku dipunggungnya.
“ Arnold boleh pinjam uang kamu tidak ?” tanyaku padanya
“ buat apa ?”
Aku dan Arnold masuk kedalam mini market, Arnold memberikanku satu kotak es krim. Aku senang mengambilnya. Kami berdua memutuskan untuk duduk ditaman malam ini. Kami duduk dibawah lampu taman, banyak sekali orang yang duduk ditaman. Tanpa memperdulikan mereka, aku makan es krim. Sudah lama rasanya aku tidak makan es krim, tututku dalam hati. Aku makan dengan lahap. Sekejap separuh dari isi kotak es krim sudah berada dalam perutku. Arnold lalu menutup kotak es krim, lalu mengambil sapu tangan dalam jaketnya, lalu menyerahkannya padaku. Aku mengambil sapu tangan itu dari tangannya. Ku lap bibirku dengan sapu tangan itu. Arnold lalu memberiku sebotol air dan meyuruhku untuk minum, akupun menurutinya, kutegak air mineral lalu menyerahkannya kembali padanya. Dia tersenyum menatapku, aku membalas senyuman itu.
Aku menyandarkan punggungku di kursi. Kami sibuk dalam fikiran kami masing-masing. Tuhan aku bahagia sekali, sangat bahagia, aku sadar aku sudah jatuh dalam perangkap yang kau buat sendiri. Tapi cinta ini sudah menarikku terlalu jauh, aku susah untuk kembali.
“Ayo pulang” kata Arnold padaku
Aku mengangguk pelan. Aku lalu berdiri didekatnya, baru saja aku melangkahkan kaki, perut terasa sakit lagi. Aku meringis dan duduk kembali di atas kursi. Arnold menyuruhku naik kepunggungnya. Ini sudah kesekian kalinya ia menggendongku dipunggungnya. Aku menuruti perkataannya. Kami berjalan, melewati jalanan yang sudah sunyi. Bintang bersinar lebih terang diatas sana. Kusandarkan lagi kepalaku dipunggungnya. Aku sudah lelah, mataku hampir terpejam.
“sakit ?” tanyanya padaku
Aku bangun, tidak mengerti dengan ucapannya. Dia lalu menyentuh tanganku yang melingkar dilehernya. Aku mengerti apa maksudnya, lalu kugelengkan kepalaku.
“maaf…”ujarnya pelan
Aku mengangguk
“hari ini sudah empat bulan Ray, aku hanya akan bertanya satu kali padamu. Katakan jika kau tidak mau melanjutkannya. Aku akan menurutinya” ucapnya padaku
Aku kaget mendengar ucapannya. Benar ini sudah empat bulan hubungan kami berjalan, lebih tepatnya hari jadian kami. Aku senang dia mengingatnya. Aku mengira, dia sudah lupa. Benar juga, mungkin dia sudah lelah dengan semua ini, dia butuh kepastian.
“ Arnold, aku minta maaf atas semuanya. Aku mau kita tetap seperti ini” tuturku, untuk pertama kalinya aku mengikuti kata hatiku.
Aku mendengar suara tawanya, dia senang mendengar semua kata-kataku. Tubuhku benar-benar lelah. Aku menyandarkan wajahku kembali dipunggungnya. Mataku terpejam, tak lama kemudian aku tidur dan saat aku terbangun, aku sudah berada di ruang perawatanku, dengan infuse yang sudah terpasang ditanganku. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku melihat Marinka terbaring di atas sofa. Entah kenapa malam ini aku benar-benar bahagia. Aku kembali memejamkan mata. Wajahnya kembali terbayang. Arnold, bisikku dalam hati.
* * *
Hari ini dokter sudah memperbolehkan aku pulang. Dengan syarat aku masih harus menjalani kontrol 2 kali seminggu, untuk melihat perkembangan penyakitku. Hari ini Arnold tidak datang menjemputku, ya aku yang memintanya. Hari ini aku akan pulang bersama Marinka.Dua minggu dirumah sakit benar-benar menyiksaku. Tapi apa boleh buat, aku harus melewatinya, mau tidak mau. Syukurlah, dokter dan perawat masih berbaik hati merawatku, setelah aku kabur dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.
Udara pagi ini, benar-benar segar. Selama dirumah sakit aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam menghirup udara pagi. Benar-benar terasa hangat. Dan mungkin saat kembali ke asrama, aku akan sulit menikmatinya. Ya, kuliah yang kemarin tertinggal harus aku kejar, dua minggu tidak masuk membuatku terlambat mengikuti studi. Untunglah aku masih punya Marinka, dia sudah berjanji akan membantuku. Setengah jam perjanan dari rumah sakit, kami sudah sampai di asrama. Marinka  membantuku untuk melewati anak tangga. Kebetulan lift asramaku sedang di perbaiki, jadi kami harus menggunakan tangga. Kamipun sampai di kamar asramaku, Marinka membereskan pakaianku, meletakkan baju-baju bersih didalam lemari.
“Thanks Mar sudah bersihin asramaku selama aku dirumah sakit” kataku
Marinka hanya tersenyum. Seperti yang kuinginkan Tuhan mengabulkan doaku, aku sekarang punya sahabat yang benar-benar ada saat aku membutuhkannya. Sama seperti Maya, Marinka tidak pernah pamrih padaku. Semoga ada waktu untuk membalas semua kebaikannya.
“ ya sudah kamu baring gih, kata dokter kamu masih butuh banyak istirahat, jangan bandel. Dan jangan kabur lagi. Pokoknya, aku sudah bilang sama Arnold, selama satu minggu masa pemulihan, dia tidak boleh menculik kamu lagi. Dengar “ terang Marinka padaku
“ ya… kali ini aku akan menuruti kamu” kataku pelan.
“ kamu istirahat, dua jam lagi aku balik kesini, ada urusan bentar. Kalau ada perlu, kamu tinggal telfon aku saja. Obat dan makanannya aku sudah siapkan diatas meja. Ya sudah, kamu tidur, sejam lagi kamu harus minum obat, aku pergi dulu ya…. Da…” katanya sambil tersenyum
Dia lalu melangkah mendekati pintu, dan menutupnya dari luar. Aku bergerak mendekati meja belajarku kuraih ponsel dan earphoneku. Lalu kembali ke atas tempat tidur, kuputar musik dan kudengarkan lewat earphone. Perlahan kupejamkan mataku yang mulai terasa berat. Kuputar posisiku menghadap jendela, kurasakan angin bergerak menghembus wajahku pelan. Sekejap aku sudah terlelap dalam tidur.
Sejenak kulupakan semuanya, tentang cintaku, pilihanku dan ketakutanku. Aku benar-benar duduk sendiri. Menikmati waktu yang kurasa akan hanya menjadi milikku sendiri. Tidak ada orang lain, juga Arnold. Hanya ada aku dan nafasku. Diam tanpa bahasa, semuanya kembali dititik nol. Garis dimana aku bermula menjadi rangkaian ikatan yang mewakili diriku sendiri. Ada rasa nyaman berada dititik ini, kau tak perlu berlari mengejar yang lain. Kau punya jalan sendiri. Tak perlu risau dengan nasib, karena ia telah tahu masa depan untukmu. Yang perlu kau lakukan hanya duduk dan meresapi hembusan angin yang bergerak memenuhi wajahmu. Tenang begitu tenang.
Kelopak mataku bergerak pelan, tanganku terasa hangat. Kubuka mataku, wajah yang pertama kali kulihat, wajah Arnold. Dia tersenyum ringan, aku sedikit canggung berhadapan dengannya, segera kutepis tangannya dari tanganku. Aku masih belum membuka suara, bingung dengan dia, darimana dia bisa masuk ? padahal, peraturan asramaku jelas-jelas melarang laki-laki masuk kecuali jika keadaannya benar-benar terpaksa, apa dia sudah mengantongi izin dari penjaga asramaku ? ku perbaiki posisi dudukku, dan kurapikan rambutku. Ku usap wajahku berkali-kali. Arnod hanya diam menatapku. Kenapa dia ?
“sudah, kamu negative aja sama aku”
Aku meliriknya heran
“minum ini, lalu makan” katanya sambil menyodorkan segelas air putih dan obat yang sudah Marinka siapkan untukku
Kuperhatikan obat yang sudah ada ditanganku.
“tenang, itu masih steril, dan nggak aku tambah-tambahin, atau kamu mau dibantu minum obatnya ?” tanyanya padaku
Aku menggeleng, segera kumasukkan obat kedalam mulutku, kutelan dengan bantun air putih. Kuusap sisa air putih yang menempel dibibirku, setelah itu kuserahkan gelas air yang sudah aku minum pada Arnold. Aku masih heran, padanya, apakah dia sudah dapat izin atau belum, sebelum masuk kekamar asramaku ?
“sudah dapat izin ?“ tanyaku padanya
Dia hanya mengangguk. Dia duduk menghadap jendela. Kenapa sikapnya hari ini aneh sekali, dia hanya sedikit bicara padaku ? kuperhatikan wajahnya. Ia berbalik menatapku lalu tersenyum, aku tidak membalas senyumnya. Arnold mendekat dan duduk di dekatku. Dia lalu berbisik padaku.
“ Ray, aku belum izin sama penjaga asrama, jangan bilang-bilang ya” katanya pelan
“ trus kamu kesini lewat mana ?” tanyaku berbisik
“ lewat jendela” tangannya menutup mulutku
Kelepaskan tangannya dari mulutku. Aku mengendus kesal, bagaimana ini ? kalau sampai ketahuan bisa gawat. Aku lalu menyuruh Arnold pulang sebelum penghuni asrama yang lain mengetahui keberadaannya. Mulutku tak henti berceloteh, Arnold kamu itu gila apa ngendap-ngendap masuk kekamar orang lain. Ini bukan kemarin, kemarin kamu boleh masuk karena kondisinya sedang darurat. Kujelaskan padanya, dia hanya mengaruk-garuk kepala dan tersenyum padaku, setelah menemaniku makan siang, sebagai janjinya dia akan kembali ke asramanya. Syukurlah, tidak ada satupun anak asrama yang tahu keberadaannya sampai dia benar-benar keluar dari asramaku. Arnold kemu memang manusia paling gila yang pernah aku kenal.
* * *
Hari ini aku kembali masuk kuliah, senang rasanya kembali kuliah. Aku bergegas masuk keruangku. Semua teman-temanku menyambutku dengan baik mereka sibuk menanyakan keadaanku. Mereka benar-benar membuatku semangat untuk belajar lagi, setelah kemarin aku harus kehilangan waktu untuk belajar. Setelah meminjam catatan dan materi dan marinka. Aku masih harus mengerjakan paperku. Dosen, memberiku waktu seminggu untuk mengerjakannya, syukurlah aku diberi kelonggaran. Usai jam kuliah aku beranjak keperpustakaan untuk mencari refensi dari buku.  Buku tetap menjadi andalanku sebagai tambahannya aku akan mencari jurnal banding dari internet. Aku harus mengerjakannya dengannya cepat. Ujian tengah semester menantiku minggu depan, jadi semua paperku harus cepeat selesai agar aku bisa belajar untuk ujian tengah semester.
Jam sudah bergerak ke angka 11. Mataku belum juga terpejam, aku masih sibuk mengutak atik laptop yang ada didepanku. Mulutku menguap, ini sudah yang kesekian kalinya. Tapi kucoba untuk tetap terjaga. Ponselku berdering.
“ halo, ada apa ? aku sibuk…” jawabku
“ keluar asrama sekarang, aku tunggu”
Arnold menutup telfonnya. Ada apa lagi dengannya  ? suaranya terdengar kesal. Aku mengambil jaket, lalu turun dari kamar asramaku. Aku berjalan kedepan gerbang, kulihat sekelilingku, kemana dia ? tanyaku.
“ ayo pergi, aku mau bicara”
Arnold mengagetkanku. Tanpa membalas ucapannya aku menurutinya. Kuikuti langkahnya dari belakang, aku menguap lagi, mataku benar-benar mengantuk. Kuusap mataku dan kukedipkan beberapa kali. Kami berhenti di jalanan sepi depan gerbang kampus. Aku melihat Arnold, tangannya masih menggenggam tanganku, matanya melihat kesekeliling kami, entah apa yang dia cari. Dia lalu menarikku, aku mengikuti langkahnya. Dia menyuruhku duduk disampingnya. Kupegang kepalaku yang sejak tadi mulai terasa berat.
“ Ada apa Ar ?” tanyaku
“ butuh bantuan ?” tanyanya padaku
Aku menggeleng, aku belum faham apa maksudnya.
“ masih sakit Raya…., kamu masih sakit sudah mulai begadang, kamu apa-apaan sih ?” tuturnya kesal
Aku tersentak, lalu menatapnya. Aku menelan ludah.
“ pulang dan tidur, no laptop and no tugas, aku balik dulu ” katanya bergegas pergi dari hadapanku
Aku masih heran dengan apa yang dilakukan, sebesar itukah rasa perhatianmu padaku ? Arnold, kau membuat aku gila. Sungguh kamu memang selalu ada, menasehatiku, menjagaku dan mencintaiku. Aku berlari mendekatinya, kupeluk tubuhnya dari belakang. Hatiku semakin luluh. Inikah cinta ? hal yang terjadi begitu cepat denganku. Aku sadar sepenuhnya, akan ada banyak pertentangan diantara kami. Tapi hatiku telah jatuh, jatuh tepat di hatinya. Cinta telah menyeruak, aku tak bisa menolaknya lagi. Apapun itu. Aku mencintainya. Perasaan nyaman ketika berada didekatnya, perasaan canggung dan jantungku yang selalu berdetak kencang saat berhadapan dengannya cukup membuatku membuka mata untuk menjemput cintanya. Aku bahagia, tapi tiba-tiba aku mengucapkan kata-kata yang membuatku tersiksa selama ini.
“Hm…. Arnold Kenapa Tuhan bikin kita beda ya…”
“ karena hanya dengan perbedaan, kita dapat saling mencintai”
“ sok puitis kamu Ar”
Dia menghadap ke arahku, lalu memandangku dengan serius
“hahahaha, memang kenyataannya kan” jawabnya ringan
“lalu, kenapa kita mesti beda Ar ?” kali ini aku bertanya padanya, rasanya berat bertanya hal itu padanya. Kutatap kembali matanya
“karena hanya dengan cara itu kita bisa ketemu”
“andai waktu kembali ke zaman alam rahim, aku cuma mau minta satu hal sama Tuhan”
“apa itu ???” tanya padaku
“aku pengen kita diciptain sama-sama, tidak ada perbedaan sedikitpun” ujarku tersenyum.
* * *
Baru saja aku merasakan bahagia, waktu itu berhenti secara tiba-tiba. Beberapa hari ini Arnold menghilang entah kemana dia. Aku rindu padanya. Sayangnya kami tak sekelas. Aku sudah mencari tahu ke teman-teman dekatnya. Mereka hanya bilang kalau beberapa hari ini Arnold ada urusan dengan pak Darman. Memangnya ada urusan apa coba ?. ya sudahlah.
Aku sudah cukup usaha, telfon, sms tak ada satupun yang dia jawab atau dia balas, bahkan aku sudah mencarinya beberapa kesemua tempat yang ada di kampus ini, tapi tak munculnya juga batang hidungnya. Sabar saja, nanti dia juga datang mencariku.
Sudah seminggu si Jelek itu tak muncul, kemana dia ? aku mulai gelisah. Dari pada aku pusing mikirin dia lebih baik aku ke jalan-jalan saja sambil motret perbukitan saja. Akhirnya aku memutuskan untuk keperbukitan, lebih tepatnya di kaki bukit. Sore nanti lepas ashar aku berangkat. Kuliah tinggal setengah jam lagi, aku nikmati detik-detik ini, walau sebenarnya pikiranku ada ditempat lain. Kuliah selesai, aku beranjak ke kantin mengisi perutku yang kosong. Dan sebelum kembali ke asrama, aku harus belanja dulu ke minimarket, persedian dapurku sudah kosong.
Semua barang belanjaan, aku bawa kekasir lalu membayar tagihannya. Akupun keluar dari minimarket, meletakkan belanjaanku di keranjang sepedaku, dan meninggalkan minimarket sambil menuntun sepedaku. Berjalan kaki ke asrama enak juga, ujarku dalam hati.
Sampai di asrama, aku meletakkan semua barang belanjaan ditempatnya. Setelah itu aku mandi, pakaian sholat  dan bersiap-siap berangkat. Tak lupa kamera kesayanganku aku bawa. Sore ini udaranya tak terlalu panas. Udaranya begitu bersahabat. Setengah jam mengayuh sepeda akhitnya aku sampai juga di kaki bukit. Aku lalu menyandarkan sepedaku di bawah pohin lalu berjalan mengitari kaki bukit. Mencari objek pemandangan yang indah. Walau berkali-kali ke tempat ini. Tempat ini masih terasa indah, walaupun aku memotret objek yang sama. Lelah berkeliling, aku beristirahat dibawah pohon yang rindang. Tenggorokanku kering, aku lupa membawa botol air mineralku padahal aku sudah menyiapkannya di atas meja belajarku. Dasar pelupa.
“ ni aku bawain air buat kamu”
Aku kaget. Arnold…!!!! sejak kapan dia berada disampingku ? kemana saja dia beberapa hari ini ? dan dia lakukan disini ? apa dia dari tadi membuntuti aku ? dasar.
“ tak usah natapku kaget gitu dong”
Aku tetap diam,
“ kamu haus kan, ayo minum gih. Nanti kalau kamu sudah minum, aku bakal jawab semua pertanyaan kamu, aku tahu di otakmu tuh banyak pertanyaan nggak penting, nih….” Seraya menyodorkan sebotol air mineral kepadaku.
Aku pun minum, mau tak mau. Aku kehausan. Setelah menegak setengah dari isi botol ini, aku menghela nafas. Segarnya…. Makasih Arnold ucapku dalam hati.
“ sama-sama” ucap Arnold
Hah, kan aku baru mau bilang, kok dijawab duluan sih.
“ nggak usah bilang aku sudah tau kok Ray”
“ aku dari tadi buntutin kamu, soalnya aku nyari-nyariin di kampus kemarin, kamunya hilang. larinya kemana aku tidak tahu. Oh iya kamu juga pasti bertanya kenapa beberapa hari ini aku menghilang, iya kan ?” ucapnya sambil menatapku.
Aku hanya mengerutkan kening.
“ tidak usah pasang muka mengkerut kayak gitu dong Ray. Kamu jadi jelek.” Katanya sambil menahan tawa.
“ ish, apa sih.. enak saja ngatain aku jelek” delikku.
“Seminggu ini aku bantuin pak Darman, bikin proposal acara buat malam amal gitu dikampus. Jadi aku sibuk, aku tahu pasti kamu nyari-nyariin aku kan, pasti kamu rindu banget” ceritanya padaku
“ aku, ya nggaklah… Aku cuma ngirain kamu marah”
“ marah gara-gara apa Ray” Tanya Arnold padaku
“ ucapan aku minggu yang lalu, maaf ya Ar…..”
“ tunggu dulu, memangnya aku marah ya ? ”
Aku menggeleng
“ Raya, aku diam bukan karena marah, jangan salah faham lagi. Aku rasa kamu tahu sikapku, dan aku menghilang bukan untuk alasan itu, ya karena memang kemarin aku sibuk dan tidak sempat bertemu kamu, lagipula terakhir kita bertemu, aku masih baik-baik saja kan” jelasnya padaku
Aku menggenggam tangannya. Saat-saat bersamanya sangat membuatku bahagia. Aku menangis. Entah apa yang kutangisi. Apakah ini pertanda kalau aku takut kehilangan Arnold ? apakah aku sudah tak bisa pergi darinya ?. Arnold mengusap air mataku lalu tersenyum. Arnold, cinta itu ada karenamu, aku hanya berharap ada tempat untuk cinta kita.
“ Raya, maaf kalau….”
“ nggak kok “
“ ya sudah balik yuk, ni sudah jam lima”
“ ya…”
“ lagi pula kita bakal lama jalannya”
“ jalan ? kita kan bawa sepada Arnold” kataku padanya
“ iya, tapi ban sepedaku bocor ” Balasnya padaku
“ tapi sepedaku masih ada Ar, kita bisa pake sepedaku dulu. Besok baru kita balik kesini, ngangkutin sepeda kamu” nasehatku
“ tapi…..”
“tapi apa ?” tanyaku padanya
Aku hanya menggeleng kepala melihatnya. Otaknya bisa jongkok juga. Aku menarik tangan Arnold menuju sepedaku. Dan betapa terkejutnya aku saat mendapati sepadaku
“ Arnold, gawat ! ban sepedaku juga bocor. Tapi tadi masih baik-baik saja “ ucapku bingung sambil memperhatikan ban sepedaku.
“ kalau aku boleh jujur. Hm, sebenarnya, aku yang ngempesin ban sepeda kamu Ray. Supaya adil, dan lagipula kamu harus diet, badan kamu sudah naik, sekalian olahraga …” katanya polos sambil tersenyum.
“ Arnold………………………………….!!!!!!!!!” Teriakku
* * *
Semakin hari aku semakin mencintainya. Dia selalu membuatku tenang berada didekatnya. Kali ini aku merasakan cinta, hal yang paling ingin ku rasakan sejak dulu. Meski sebelumnya aku menolak merima semuanya. Tapi sekarang yang aku rasakan, cinta yang begitu kuat. Jujur aku takut dengan kenyataan, ya semakin kuat cinta yang kurasakan semakin sakit untukku membayangkan perpisahan dengannya. Dunia seakan kiamat atau aku terlalu berlebihan membayangkan. Entahlah perasaan itu selalu muncul tiba-tiba. Aku takut semakin takut.
Malam ini ku coba menutup mataku kuat-kuat, mencari ketenangan dalam tidur, biarkan malam menutup hatiku  yang semakin resah, membiarkan suara angin mengalirkan semangat untuk hatiku sendiri. Menghilangkan perasaan takut yang sering membuatku resah dan tak menentu. Berkali-kali aku mencoba untuk membuangnya jauh-jauh, tapi perasaan itu kuat-kuat menghempasku semakin jauh. Tuhan, panjanglah waktuku bersamanya, aku belum bisa menghapus perasaan ini.

*Diadaptasi dari cerpen seutas asa dibalik tembok tua
 

By: Blue Right