Cinta Itu Ada
Setelah camping kemarin, aku berusaha menghidari
Arnold. Bagaimana bisa ia memutuskan jadi pacarku sementara dia belum bertanya
dengan jelas denganku. Apa aku mau atau tidak. Tidak adil rasanya. Jam
istirahat, aku habiskan di asramaku, takut jika Arnold menemukanku di
perpustakaan kampus. Kulirik jam tanganku, 15 menit mata kuliah dimulai, aku bergegas keluar kamar dan mengambil tasku
yang tersimpan diatas meja. Sampai didepan pintu aku lalu mengunci pintu dan
segera keluar dari asrama. Satu persatu anak tangga aku lewati, kali ini aku
berjalan ke arah kampus, kupercepat langkahku. Ketika masuk ke gerbang kampus,
terdengar seseorang menyebut namaku, akupun berbalik kearahnya, rupanya Arnold
yang memanggilku. Kulihat wajahnya sekilas, lalu kembali menatap kedepan, aku berusaha
untuk tidak memperdulikannya dan tetap berjalan ke ruangan kelas. Dia
mengikutiku dari belakang,
“Raya, kamu kenapa ?” tanyanya berulang-ulang
padaku.
Aku menghela nafas, berhenti sejenak karena dia
mencegat langkahku. Kesal, dia selalu menggangguku, kualihkan pandanganku
padanya dan tak menjawab pertanyaannya, kaki
berlari kecil. Kali ini ia sudah berhenti dibelakangku, akupun masuk
kedalam ruangan kelas, tanpa menoleh lagi padanya. Aku belum bisa bertemu dengannya.
Setelah kejadian kemarin, hatiku menjadi tidak karuan, apakah aku harus
berusaha untuk memutuskan hubungan ini ? tapi hubungan apa ini ? aku belum
mengiyakan perkataannya, apakah itu bisa dianggap sebuah kesepakatan ?
menurutku tidak, bukan seperti ini. Apa yang ia inginkan sebenarnya ?
*
* *
Sama seperti tiga hari sebelumnya, aku masih terus
menghindarinya. Aku sama sekali tidak perduli
padanya apapun yang dia lakukan tetap saja membuatku tidak tertarik. Aku masih
tetap menganggap hubungan yang ia ciptakan adalah kesepakatan yang tidak pernah
aku buat. Aku semakin resah dengannya. Rasanya aku mulai membenci sikapnya yang
selalu mencampuri urusanku. Dikantin tadi aku berniat makan bakso kesukaanku,
lalu kutuangkan saos lombok kedalam mangkuk, aku baru saja menuangkan untuk kedua
kalinya, Arnold mencegatku dan membawa botol saos yang susah payah aku ambil
dengan mengantri. Setelah mendapatkannya ia bergegas pergi dan tersenyum
kepadaku.
Aku melongos kesal, kenapa dia selalu menggangguku ?
apa dia tidak punya urusan yang lain apa ? ujarku kesal. Aku jadi kehilangan
mood, kuputuskan kembali kedalam kelas. Perut yang tadinya lapar mendadak
hilang selera untuk makan. Besok apalagi yang akan dia lakukan denganku ? Sampai
didalam ruangan aku duduk dikursi sambil melipat tangan, aku masih kesal dengan
Arnold. Kudapati selembar kertas diatas meja ku. Aku lalu membacanya. “
dilarang membuang rejeki, dosa!” tulisan itu membuatku semakin kesal, mau tidak
mau aku harus makan bakso yang aku tinggalkan dikantin tadi, akupun kembali ke
kantin kampus. Arnold sudah berada dimeja tempat aku duduk tadi, dengan gaya
santai seolah-olah tidak melakukan kesalahan. Sikapnya tenang tanpa bicara dan
dia hanya menatapku sejenak, lalu menatap dalam-dalam mangkuk bakso yang ada
dihadapanku, sikapnya membuatku tersinggung. Kupaksakan duduk berhadapan
dengannya, kali ini aku harus menahan rasa kesal dan makan tanpa
menghiraukannya. Hatiku benar-benar semakin benci dengannya, untuk apa dia
melakukan ini semua ? aku semakin tidak enak hati padanya. Aku benci dengan
caranya memperlakukanku. Ya, sangat benci.
*
* *
Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun, kukucek
mataku. Badanku terasa lemas, kepalaku lebih hangat dari biasa, tenggorokanku
juga sakit saat menelan. Sepertinya aku kena flu. Kubuka kotak obat diatas
meja, aku tidak menemukan satupun obat flu, aku lupa, seharusnya obat itu ada
didalam kotak ini, lalu aku menyimpannya dimana ? tanyaku dalam hati. Jam sudah
berada tepat diangka 7, kuputuskan untuk bergegas mandi dan berangkat ke
kampus, hari ini kuliah dimulai jam delapan.
Selama kuliah berjalan aku sama sekali tidak bisa
konsentrasi, kepalaku sakit. Setelah kuliah selesai, aku keluar ruang dan duduk
di bawah pohon yang rindang sambil memegangi kepalaku yang sakit. Tenggorokanku
terasa kering, aku berjalan ke kantin dan membeli sebotol air dingin. Setelah
itu aku kembali duduk ditempat yang tadi sembil membuka segel minuman dingin.
Baru saja ujung botol menyentuh bibirku, tiba-tiba tangan itu mengambilnya dari
tanganku.
“ apa-apain sih ini !” ujarku kesal
Aku memandangnya dengan tatapan kesal. Dia lagi dia
lagi, kenapa harus Arnold yang muncul dihadapanku ? Tanpa bicara, dia
melemparkan sebotol air mineral dan obat kepadaku, dengan sigap aku
menangkapnya. Dan sama seperti biasa, dia berlalu dari hadapanku. Aku sedikit
kaget dengan yang dia lakukan. Darimana dia tahu kalo aku sedang sakit ?
Kepalaku tersa berat lagi, aku duduk kembali. Ponselku berdering, kurogoh
kantongku. Ada pesan, kubuka kotak pesan, “sudah tahu sakit masih saja cari
penyakit”. Aku menelan ludah, kenapa kamu begitu perhatian padaku ? aku sudah
bersikap tidak baik kemarin-kemarin padamu. Apakah benar kau menganggapku pacar
yang harus selalu ada saat kau dibutuhkan ? tapi kita belum sepakat ? aku
mengigit bibir, aku merasa malu pada Arnold. Merasa serba salah padanya,
kutundukkan kepalaku, sekarang kepalaku bertambah pusing. Tuhan, apa yang harus
aku lakukan ?
*
* *
Seminggu setelah camping berlalu dan setelah dia
memberikan obat padaku, Arnold tetap seperti biasa, muncul dihadapanku dan
menyapaku. Yang berbeda, kali ini dia mulai banyak bicara, seolah-olah dia
sudah bisa memenangkan hatiku. Aku ingat bagaimana sikapnya beberapa hari yang
lalu dia banyak diam dan tersenyum seolah-olah mengejekku. Trik apa lagi yang
ia akan lakukan ? Tapi aku harus tetap pada taktik awal, bersikap dingin dan
acuh tak acuh padanya. Aku harus menunjukkan sikap tegas dengan tidak
memberinya ruang untuk apapun dalam hatiku. Aku harus tegas, jika aku luluh
padanya itu berarti aku harus berurusan dengan Tuhanku.
Aku tau ini tidak adil, tapi aku tidak bisa
terus-terus dikejar rasa takut, jika aku menerima Arnold itu berarti aku telah
melangkahi batas. Hatiku menjadi semakin panas, disisi lain aku mulai luluh
dengan perhatiannya, tapi disisi lain aku takut menjalani hubungan ini, aku
takut terjebak dengan ikatan yang disebut cinta. Aku sadar sejak awal aku memang
mencari ini, tapi semakin dekat dengan cinta aku semakin takut mengikutinya,
aku takut, benar-benar takut. Aku harus bisa bicara padanya, aku tidak boleh
seperti ini, masih ada kesempatan aku belum terlambat untuk memutuskannya.
Niatku sudah bulat, aku meminta Arnold untuk menemuiku di taman kampus siang
ini, jantungku berdegup kencang. Aku sudah duduk dibawah pohon, berkali-kali
aku melirik jam, Arnold belum muncul juga. Aku mulai gelisah, kupejamkan mataku
berkali-kali, aku sudah tidak sabar untuk mengakhiri ini.
“ sudah lama ?” tanya Arnold padaku
Aku tidak menjawab, tanganku tiba-tiba saja gemetar.
Mataku menatap matanya, ada rasa tidak ikhlas untuk menyudahi hubungan ini. Jujur
aku sama sekali tidak rela. Otakku memutar cara untuk bicara dengannya. Aku
sudah siap bicara padanya dan
“ aku tahu kamu pasti rindu, aku sudah bisa menebak
dari wajahmu” tuturnya sambil mengusap wajahku
Kutepis tangannya dari wajahku, berani sekali dia
menyentuh wajahku. Mataku menatap tajam, dan ucapannya benar-benar membuat aku
kaget. Apa-apaan dia ? bagaimana bisa dia bicara seperti itu. Dengan senyum tak
berdosa, dia mendongak ke arah wajahku, tangannya dilipat didada, lalu menatap
mataku dengan wajah serius. Aku tidak bisa bicara banyak, sikapnya membuat aku
bungkam. Kenapa aku harus gugup berhadapan dengannya ? nafasku terengah, tapi
aku berusaha menenangkan diri dan tidak betindak bodoh, jika tidak dia akan
semakin membuatku susah untuk melepasnya. Kualihkan pandangku kearah lain. Dia
lalu mundur beberapa langkah dari hadapanku, dan melipat tangan kebelakang. Aku
sudah siap dengan kata-kataku.
“ kita, harus bicara” kataku padanya
Lagi-lagi dia hanya tersenyum padaku. Seolah-olah
dia sudah tahu, dia mengangguk pelan. Lalu merogoh ponsel yang sejak tadi
berdering. Ia menjawab telefon dan berjalan membelakangiku, aku membuang nafas,
otakku benar-benar hampir pecah, menahan sesak. Sulit sekali untuk
mengatakannya. Ini adalah waktu tepat tapi aku masih belum bisa mengucapkan
satu katapun padanya. Dengan sabar kutunggu Arnold kembali kehadapanku. Aku
tidak boleh membuang waktu, jika hari ini gagal maka akan sulit untuk mencari
kesempatan kedua. Arnold berbalik dan berjalan ke hadapanku.
“ aku sudah tahu, sudahlah aku balik ke kelas dulu,
5 menit lagi aku akan dihukum karena terlambat masuk kelas” ujarnya padaku
“tapi aku belum bicara” kataku kesal
“aku sudah tahu” balasnya sembari tersenyum
“ta-tapi…” cegatku
Tanpa perduli, dia berlari kecil menjauhiku. Kutatap
dia dengan perasaan tak karuan. Sebelum menghilang dia berbalik kearahku lalu
melambaikan tangan. Aku terduduk lemas, kututup wajahku dengan kedua tangan,
aku menghela nafas, kesal dengan diriku sendiri yang tidak bisa memanfaatkan
kesempatan emas untuk bisa mengakhiri hubungan ini. Ini sudah seminggu tapi aku belum juga bisa
mengambil keputusan. Harus aku akui, perasaanku mulai luluh. Tapi aku harus
tetap tegas dengan keputusanku, aku tidak boleh lemah dengan perasaan ini. Aku
berusaha bangkit dari tempat duduk, dan mengambil langkah. Sesekali aku menatap
ke atas, Tuhan ini pasti bukan cinta, aku yakin itu, bisikku dalam hati, kusunggingkan
senyum meskipun rasanya benar-benar pahit. Tenang kesempatan itu pasti ada, ucapku.
*
* *
Setelah gagal bicara dengan Arnold kemarin, aku
menghindar darinya. Setiap kali dia berusaha mendekat denganku, aku terus
menjaga jarak. Yang aneh, dia tetap saja tak terpengaruh. Sikapnya membuatku
semakin khawatir. Aku mengendus kesal, kondisi ini membuatku semakin terjepit.
Perlahan-lahan, pelan-pelan saja Raya, kamu harus percaya, kamu bisa
mengakhirinya, percaya pada dirimu sendiri.
“ Raya, kamu kenapa ?”
“ nggak apa-apa” ucapku pada Marinka
“ Ray, boleh aku tau kenapa kamu terus menghindar
dari Arnold ?”
Aku kaget mendengar pertanyaannya. Maaf Mar, aku
belum bisa bicara padamu sekarang. Kubalas pertanyaan itu dengan senyuman,
entah senyuman apa yang aku berikan padanya. Kutepuk bahunya lalu kutinggal
dia. Aku berjalan masuk kedalam kelas, Ponselku berdering, kulihat nama yang muncul
dalam layar, Maya ucapku senang. Aku mengangkat telpon. Suara Maya membuatku
sedikit tenang. Jujur saat ini aku sangat ingin bicara padanya tentang
semuanya, tentang perasaan yang kucari selama ini, tentang Arnold, tapi rasanya
itu tidak mungkin. Kuputuskan untuk diam, walau sebenarnya aku butuh seseorang,
tapi kali ini aku harus bisa memutuskannya sendiri, aku harus menyelesaikannya sendiri.
*
* *
Aku masih terus menjalankan aksi diam didepan
Arnold. Arnold mulai khawatir melihatku, dia memutuskan untuk menjauhiku
sementara waktu. Aku dan Arnold masih saja sama seperti biasa, saling bertemu
tanpa berbicara satu sama lain, hanya ada senyum yang selalu ia hamparkan
padaku menghilangkan rasa canggung dan aku tetap tak menghiraukannya. Sesekali
Arnold menanyakan keadaanku. Keadaan ini sudah sangat menggangguku. Aku harus
bisa memutuskan, tak mungkin terus menerus seperti ini. Aku menyibukkan diriku
dengan kegiatan kampus. Satu bulan rasanya sangat singkat untuk berpikir. Aku masih
saja belum bisa mengatakan iya pada hubunganku dengan Arnold, meski hatiku
sudah jelas menginginkannya. Bagaimana aku harus menghadapi ini, aku punya
pendirian yang tidak boleh aku lupakan, aku dan dia berbeda, sangat berbeda,
dan itu yang membuatku berat untuk menerimanya. Itu semua aku lakukan karena
aku paham dengan konsekuensi yang nanti aku terima. Aku sangat faham itu, kami
tidak akan mungkin bisa menjadi satu, bukan karena aku tidak bisa mencintainya,
tapi karena cinta kami tak punya tempat sama sekali.
Semalam Marinka menititipkan amplop dari Arnold.
Tapi aku belum membukanya. Lepas jam kuliah selesai aku beranjak ke taman
kampus, aku duduk dibawah teduhnya pohon sembari membuka amplop titipan Arnold.
Aku membacanya ternyata dia telah mendaftarkan aku untuk kemah arkeologi.
Sekedar untuk menghibur diri, dan melepaskan sejenak fikiran tentangnya. Aku
tahu aku banyak salah padanya, tapi aku punya alasan yang kuat untuk menutupi
rapat-rapat gejolak dalam hatiku. Dia hanya berpesan padaku untuk menemui
seorang anak yang namanya tak ia tuliskan. Ia menginginkan aku untuk kenal dengan
anak, yang dia sebut sahabat kecilnya. Aku juga akan mendapatkan hadiah
istimewa disana.Entahlah, tapi aku harus berterima kasih padanya. Mungkin aku
akan menemukan jawaban disana. Benar aku senang sekali mendapatkan hadiah ini,
apalagi kemah arkeologi, dari mana Arnold tahu, kalau aku suka semua yang
berbau sejarah ?
Sambil berlari-lari kecil aku melihat ke kiri dan
kanan, aku ingin mengucapkan terima kasih padanya. Akhirnya aku menemukannya.
Semakin dekat jantungku semakin berdebar kencang, mungkin ini pengaruh nafasku
yang terengah-engah.
“ Arnold “ panggilku padanya
“ hai, kamu sudah dapat titipanku kan ?” tanyanya
padaku
Aku lalu menunjukkan amplop titipannya sambil tersenyum
“ baguslah” Arnold tersenyum padaku
“ terima kasih “ jawabku
Dia lalu mendekat ke arahku. Tangannya lalu ia
letakkan di atas kepalaku, sambil mengusap rambutku lembut. Aku merasa tenang,
dia cukup mengerti aku. Arnold pun berlalu. Tiba-tiba ada perasaan rindu yang
timbul ketika ia menghilang di antara kerumunan mahasiswa yang tepat berada di
depanku. Tuhan kali ini berikan aku jawabannya. Aku ingin semuanya berakhir. Tolong
katakan aku tidak akan kalah oleh perasaan ini.
*
* *
Pagi mengantarkan mentari seolah kembali berputar
dipusaran bumi, membangunkan mata yang masih terpejam. Udara kota pagi ini
begitu tak bersahabat, mentari yang panas tertutup awan gelap pertanda mendung.
”hey, pagi-pagi jangan melamun. Tendanya sudah
dibereskan kan ?” ujar Maya membuyarkan lamunanku.
“iya bu......” jawabku ketus.
“eh Raya, kamu tahu tidak agenda kunjungan arkelogi
kita hari ini apa ?” Maya kembali bertanya kepadaku.
“iya bu Maya, Raya tahu” jawabku datar
Iya pun tersenyum sambil menggandeng tanganku menuju
bis yang akan membawa kami ke salah satu bangunan bersejarah di kota Selayar.
30 menit bis melaju, akhirnya sampai juga ditempat tujuan. Aku kembali
tercengang. Ini tempat kunjungan arkeologi kali ini ? apa hebatnya ? tanyaku
dalam hati.
Semua peserta kemah arkeologi berbondong-bondong
memasuki bangunan tua yang nampak kokoh ditengah hirup pikuk kota kecil ini, di
pandu kepala rumah tahanan kota Selayar dan didampingi para pendamping peserta
kemah.
“Raya, ayo....!” ucap Maya mengagetkanku.
Akhirnya, setelah mengalungi kartu pengunjung kami
pun diajak berkeliling rumah tahanan atau lebih tepatnya penjara. Aku kembali
memandangi satu persatu sudut tempat ini. Terawat dan banyak menyimpan sejarah,
bangunan tua dengan aksitektur belanda yang masih terasa kental, kata yang
terujar dari bibirku. Tiba-tiba pandanganku terhenti pada satu ruangan yang
dihuni para narapida, mungkin terlalu kasar, ya mereka para tahanan bangunan
tua ini. Ku lihat semua orang didalam ruangan itu sibuk dengan kegiatan mereka
masing-masing, saling acuh dan tak bersahabat. Kecuali anak kecil yang berada
dekat dengan jendela. Kelihatannya ia begitu tertekan berada ditempat ini. Aku
mencoba mendekatinya, tapi ibu penjaga melarangku.
”jangan dekati dia, kemarin salah satu pengunjung
terluka akibat ulahnya.. !” kata ibu penjaga.
Aku terdiam sesaat, dan.....
“Eh , saya ini bukan orang gila bu, dan kemarin itu
bukan ulah saya...!” ujar anak kecil itu.
Aku tersenyum kepada ibu penjaga, dengan hati-hati
kukatakan padanya,
“bu boleh saya bicara dengannya ???”
Ibu penjaga sedikit keberatan mendengar ucapanku,
namun akhirnya iapun memberi izin.
“ingat, jaga jarak ya dengan dia” katanya
memperingatiku.
Aku pun berjalan mendekati jendela, tentunya dengan
tetap menjaga jarak, aku tahu, pasti ibu penjaga itu masih terus mengawasiku
dari jauh. Aku membuka pembicaraan dengan hati gemetar dan takut, bayangkan ini
adalah kali pertamanya dalam hidupku berhadapan dengan seorang tahanan,
meskipun ia seorang tahanan kecil.
“masuk sini gara-gara apa ?” tanyaku canggung
menjaga jarak.Ia sedikit heran dengan pertanyaanku, mungkin dia kebingungan
harus mulai darimana. Lalu ia menerawang ke atas,
“mencuri sendal....”jawabnya enteng
Aku tersentak
“hanya gara-gara itu ??? kok bisa ???” balasku
terheran-heran
“saya juga tidak tahu, mungkin bapak berjas itu
mengira saya ini koruptor.” jawabnya polos
“benarkah ?? ternyata hal sekecil itu bisa jadi
masalah besar” jawabku aneh dan tidak nyambung
“kakak percaya atau tidak ya begitulah, saya juga masih heran. Padahal anak kecil
seperti saya, hanya butuh sedikit keadilan, andai bapak berjas itu tidak
mengetuk palu, pasti saya tidak akan terkurung dalam kerangka besi ini, dan
andai mereka mau mengampuni, dengan senang hati saya akan mengembalikan sendal
itu, tapi jadinya ya seperti ini, hidup ini salah, apa boleh buat saya ini
orang kecil, mau makan susah, jalan satu-satunya ya mencuri.”
Aku tercengan seolah tak percaya, heran. Ternyata
hal itu nyata di tempat ini. Aku tertawa dalam hati, hal ini begitu menggelitik
dan miris, di kota sekecil ini hukum tak tanggung-tanggung, aku mengira itu
hanya cerita fiktif yang sengaja dibuat-buat untuk menjatuhkan pamor seorang
hakim agung. Kasian anak itu, hanya demi mengisi perut kosong, ia harus mencuri
dan mendekam dalam jeruji besi di balik bangunan tua ini. Entahlah dia memang
salah, tapi apakah hukuman seperti ini layak ia terima di usia yang masih muda
??
Biarlah, aku juga tak berhak berkata apapun, hukum
ini bukan hukum nenek moyangku, hukum ini adalah hukum yang berlaku di negara
ini. Tapi jika hukum setegas ini kenapa coba koruptor masih meraja di negara
ini ?? Apakah ini hanya persoalan uang semata, atau ?? sekali lagi entahlah
hanya penguasa negeri ini yang tahu.
“kak, boleh minta makanan tidak ??´tanyanya padaku
polos
“makanan ??” ku rogoh tas coklatku, melihat apakah
ada sesuatu didalamnya, akhirnya aku menemukan sebungkus roti, mungkin ini
cukup, ucapku dalam hati seraya memberikan sebungkus roti padanya.
“makasih kak” ucapnya tersenyum
Ku ulurkan tanganku padanya
“kak Raya, kamu boleh panggil saya kak Raya” ucapku
padanya
“saya Mamat, makasih rotinya kak” jawabnya tersenyum
menjabat tanganku
Aku tersenyum kecil menatapnya. Maya lalu muncul
kehadapanku, lalu mengajakku pulang. Waktu berkunjung sudah habis, kami harus
kembali ke perkemahan tepat sebelum jam makan siang. Sebelum pulang kubalikkan
badan, melambaikan tangan pada Mamat.Walaupun itu hanya sekedar lambaian
perpisahan. Setidaknya, untuk memberinya semangat dan membiarkannya tetap
bermain dengan sang asa. Semoga saja dia mengerti maksudku. Langkahku pun
mengayun menutupi segudang pertanyaan bergelayut dalam benakku.
Hari ini, pertemuan singkatku dengan Mamat memberiku
pelajaran yang sangat berharga, lewat harapan-harapan yang terbesit jelas
dibawah garis senyumnya. Mencoba menerangkan padaku, bahwa ia akan bertahan
seberat apapun deraan yang menimpanya. Meskipun ia tahu, kalau tubuhnya akan
semakin rapuh terkurung dalam kerangka besi seperti ucapannya.
Ternyata siang membawa cerita miris dan menggelikan,
hujan pun turun membasahi jalanan. Mungkin ini isyarat bahwa tak selamanya
mentari yang bersinar terang itu akan memberi panas pada bumi, tapi terkadang
mendung muncul sebagai tanda bahwa bumi butuh air untuk menyiram penat panas
yang melingkupinya. Seperti Mamat yang menyunggingkan senyum pelepas beban
dibalik himpitan masalah yang ia pun tak mengerti. Tuhan tunjukkan jalan
baginya, aku tahu engkau tak pernah tidur, kau selalu ada untuk seorang Mamat.
Setidaknya untuk menjawab pertanyaan anak kecil sepertinya. Tegakkan harapannya,
sambutkanlah doanya meskipun itu hanya seutas asa di balik tembok tua.
Hujan semakin deras mengguyur, seperti ingin
menyirami kuntum-kuntum asa anak bumi. Mengais harapan di tumpukan mimpi buruk,
tetap berkhayal walaupun akhirnya harus terjatuh dalam senyum pahit. Nyatalah
engkau mimpi, sambut setiap asa anak negeri yang meraung*.
*
* *
Rupanya, Arnold ingin mengajarkan aku arti cinta
yang sebenarnya. Cinta kepada orang asing. Ya Cinta bukan hanya milik sepasang
kekasih, tapi milik hati yang mau saling memahami. Aku mengerti sekarang. Aku
mencintai Mamat, karena aku memahaminya, cinta untuk anak kecil yang baru saja
berkenalan denganku. Arnold benar-benar membuat kejutan untukku, darimana ia
tahu sahabatku Maya, bagaimana ia bisa meminta Maya untuk datang ke acara kemah
itu. Arnold kenapa tiba-tiba kamu menjadi istimewa dimataku ? Tapi, maafkan aku, aku tetap harus tegas,
perasaan ini harus aku kubur. Aku sadar, aku sudah melakukan kesalahan yang
besar, seharusnya aku tidak jatuh cinta padamu. Kupejamkan mataku kuat-kuat,
mencari jalan yang harus aku lakukan. Bagaimana caranya agar aku bisa lepas
dari semua ini ? kugigit bibirku, Tuhan berikan aku satu kesempatan lagi.
Kuputuskan, aku harus merubah taktik. Aku berbalik
mencari jalan untuk bisa membuatnya sakit dengan cintanya sendiri. Terdengar
kejam, tapi aku berfikir ini adalah cara yang paling baik, walau pada akhirnya,
aku juga akan merasakan sakit yang sama. Kututup wajahku dengan kedua telapak
tanganku, Arnold kenapa harus kamu ? air mataku jatuh. Aku berjalan ke bibir
tempat tidur lalu duduk dekat jendela, menatap bintang. Membayangkan pelangi
ada diatas langit, apa mungkin bisa ? apa mungkin pelangi bersinar di malam
hari ? apa mungkin cinta yang mulai tumbuh dihatiku bisa selamanya bersama ? kenyataan
tak akan seperti ini. Kami berbeda, kami tidak sama. Apa mungkin kami bisa satu
?. Air mataku kembali jatuh, kuat-kuat kutahan sesak dalam dadaku. Sakit
rasanya memendam cinta. Kubaringkan tubuhku dalam tidur. Aku ingin melepaskan
sejenak bebanku. Arnold maafkan aku.
Semenjak saat itu aku pelan-pelan mulai mendekatkan
diri padanya. Setidaknya untuk mengenalnya lebih jauh. Kami sering menghabiskan
waktu bersama. Aku memang belum tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini,
bagaimana cara agar dia bisa merasa sakit. Tapi aku harus yakin dengan
keputusanku. Semakin hari aku semakin memikirkannya. Aku jadi sering rindu
dengan gelak tawa dan leluconnya. Hatiku sedikit demi sedikit meracuni otakku
untuk luluh dengan hatinya. Kupejamkan mataku kuat-kuat, aku harus tetap
bersikeras untuk memutuskan hubungan ini dan berhenti berpura-pura.
“hei…. Melamun saja, bagaimana kemahnya ? banyak hal
baru kan ?” tanyanya padaku
“ hm… ternyata, kamu daftarin aku ke kemah itu
gara-gara anak yang sering kamu kunjungi itu kan ?” tatapku padanya.
“ hm, tidak juga…., ayo ah lapar, dari tadi aku
nungguin kamu di kantin, gara-gara kamu nggak muncul aku susulin kamu kesini,
ayo…. Aku lapar” rengeknya padaku
Arnold, dia tidak berubah, dia tetap menjadi manusia
paling misterius untukku. Kali ini aku percaya, lewat dia aku mengerti, cinta
mengajarkan waktu untuk terus bergerak meski ia tetap tertinggal di barisan
belakang. Cinta mengajar kita, bahwa cinta itu bukan hanya sebentuk bongkahan
rindu dan perasaan saling sayang. Tapi cinta itu ada jika dua hati mampu untuk
saling memahami dan saling mengisi. Sayang, aku harus mengakhiri semua ini,
maafkan aku Arnold. Aku merasa kamu benar tentang cinta tapi aku, tidak berhak
untuk menerima semua ini, aku tidak bisa menjalani hubungan ini. Meski kita
akan menjadi satu dalam cinta tapi kita tetap berbeda dalam agama.
*
* *
“ semenjak pulang dari kemah, kamu nyuekin aku,
lama-lama aku jadi curiga nih, jangan-jangan kamu ada affair sama adek baru
kamu, cemburu nih” ujar Arnold
“ kamu tu yah, bicara selalu aja nggak pake otak.
Dasar jelek” jawabku
“ Ray, aku bicara serius ”
“ Ar,… Hahahahahaha…. Udah deh nggak penting tau”
“ kamu tuh”
“makanya jangan cemburu sama anak kecil”
“ kamu sayang aku kan ?”
Aku tersentak, tawaku terhenti. Kali ini aku tidak
menjawab, aku bergegas pergi dari hadapannya. Jika terus-menerus seperti ini,
bagaimana bisa aku menarik diri darinya. Ini waktu yang tepat, tidak akan lagi
kesempatan jika aku melewatkannya lagi. Aku mengatup bibirku kuat-kuat. Aku
harus bisa membuat kesempatan, harus bisa. Lebih baik aku sakit sekarang
daripada penyesalan akan menertawaiku, tenang Raya, kamu sudah pernah
mengalaminya. Jangan takut, rasa sakit itu tidak akan lama, kamu akan segera
bangkit sama seperti saat David dulu, tuturku dalam hati.
*
* *
Pagi-pagi aku sudah bangun, lepas subuh tadi mataku
sulit terpejam. Kepalaku terasa, kutatap wajahku di dalam cermin, mataku
terlihat bengkak. Kukedipkan beberapa kali, mataku terlihat lebih kecil dari
ukuran aslinya, aku tertawa menatap wajahku sendiri, kuambil satu botol air
mineral dalam kulkas, lalu kubasuh diwajahku. Aku meringis perih, dingin
sekali. Ku usap wajahku dengan handuk, lalu kuperiksa kembali bagian mataku,
lumayan sudah tidak bengkak lagi. Kulirik jam tanganku,m asih jam setengah enam
pagi.
Setelah bersiap-siap, kupakai sepatu olahragaku dan
jaket biru yang tergelatak diatas kursi, Aku bersiap-siap keluar kamar. Udara
pagi diluar asrama lebih sejuk. Aku berjalan ke arah perbukitan dekat kampus.
20 menit kuhabiskan waktuku berjalan kaki, lelah tapi begitu sampai
diperbukitan ini, aku merasakan persaan damai, rerumputan hijau dan bunga yang
bermekaran, udara pagi yang sejuk, ada kehangatan yang menyelimuti rasa
takutku. Jika mengingatnya, kepalaku serasa ingin pecah. Aku duduk diatas
rumput hijau, kubaringkan sejenak tubuhku. Kurentangkan tanganku ke arah
samping. Kututup mataku, andai aku bisa memilih, aku akan memilih Arnold.
Perhatiannya membuatku selalu membutuhkannya. Dan entahlah, saat berada dekat
dengannya, jantung berdegub semakin kencang. Sebesar apa cinta yang aku miliki
untuk Arnold ? tapi, aku tetap tidak bisa. Kubuka mataku, panas matahari mulai
terasa , aku bangun dan duduk sejenak.
“ pagi Ray !”
Aku tersentak, cepat-cepat aku berdiri lalu berlari
menjauhi suara itu, saking takutnya aku berlari tanpa melihat apa yang ada
didepanku. Kakiku tersandung batu, aku jatuh dan menahan sakit. Sakit sekali
rasanya.
“ Raya, maaf. Kamu tidak apa-apa ?”
Kepalaku mendongak kearahnya, Arnold ? kenapa dia
ada disini ? rupanya dia mengikutiku. Aku kembali menunduk, tanganku memegangi
kaki kiriku yang tergilir. Sakit sekali rintihku. Kucoba untuk berdiri, tapi
aku terjatuh, kucoba untuk kedua kalinya, aku terjatuh kembali. Sakit sekali.
Aku merintih. Arnold mencoba membantuku, tapi aku menolaknya, ini semua
gara-gara dia, kenapa dia ada disini ? ketusku dalam hati. Kucoba lagi untuk
berdiri, tapi aku tetap saja terjatuh. Aku dudk lemas, kakiku sakit sekali.
Bagaimana ini ? bagaimana aku bisa pulang.
Arnold lalu menarik kakiku.
“kamu mau apa sih ? ini semua gara-gara kamu, kenapa
juga kamu bikin aku kaget ?, kalau kamu tidak berulah, aku tidak mungkin lari
ketakutan, dan tersandung batu” kataku sedikit emosi
Arnold diam
“kamu dengar tidak ? please, tolong lepaskan kakiku,
aku tidak butuh bantuan, aku mau pulang !” kataku sekali lagi
Arnold menatapku, lalu menggulung ujung celana
panjangku. Dia memperhatikan dengan teliti bagian yang memar di kaki. Dia
menekannya, rasanya sakit sekali, dia lalu memijit pelan pergelangan kakiku,
lalu mengerakkannya kearah yang berlawanan. Awalnya terasa sakit sekali, tapi
setelah itu, rasa sakit kakiku berkurang. Arnold lalu membelakangiku.
“naik kepunggungku” pintanya padaku
Aku heran dengan ucapannya. Aku tak menghiraukannya.
Kualihkan pandangku kearah yang lain. Arnold menatapku, dan mengisyaratkan agar
aku naik diatas punggungnya. Aku menggeleng, dan masa bodoh dengan ucapannya.
Tanpa memperdulikan aku, dia lalu mengangkatku dengan kedua tangannya,
“Arnold kamu apa-apaan sih ?” tanyaku kesal
Dia tetap saja diam, kuulangi pertanyaanku untuk
kedua kalinya. Dia lalu menurunkanku. Lalu menatapku serius.
“kamu berat juga, makan berapa kali sih sehari”
katanya sambil memperhatikan tubuhku.
Aku geli mendengar ucapannya. Kali ini aku tidak
bisa menahan tawa, diam-diam aku perhatikan wajahnya. Arnold apakah cinta itu
berarti sakit ? tuturku dalam hati. Arnold memandangku, wajahnya terlihat aneh,
ia mengkerutkan dahi.
“ naik kepunggungku” ucapnya padaku
“ kamu yakin tidak akan menyesal, jika aku naik
kepunggungmu ?” tanyaku padanya
Dia menatapku lagi, kali ini wajahnya terlihat
bingung.
“ aku tidak mau menyesal” katanya padaku
“ jadi ? ” tanyaku padanya
“ kalau begitu, baiklah, sampai jumpa. Aku balik
duluan” katanya enteng.
Dia berjalan menjauhiku, lalu melambaikan tangan.
Bodoh, kau benar-benar bodoh. Bagaimana caranya aku pulang kalau begini. Aku
mencoba untuk bangun, kali ini aku berhasil. Aku berjalan, tapi baru empat
langkah, aku jatuh. Aku bangun lagi, kucoba berjalan lagi. Tapi tetap saja aku
jatuh. Aku sudah sendiri ditempat ini. Kemana Arnold ? cepat sekali dia
menghilang.
“Arnold” teriakku kesal
Tiga kali kupanggil namanya, tapi tak ada jawaban.
Sial dia meninggalkan aku ditempat ini sendirian. Kulihat sekeliling, tapi sama
sekali tidak ada orang. Kurogoh saku celanaku, tapi aku tidak menemukan
ponselku. Kurogoh saku jaketku, aku hanya menemukan kunci kamarku. Kesal, aku
lupa membawa ponselku. Aku ingat, aku meletakannya diatas kursi saat memakai
sepatu. Matahari semakin meninggi, udara jadi lebih panas, keringatku mengalir.
Sekali lagi aku berteriak memanggil nama Arnold, tapi dia tidak kunjung muncul.
Kesal rasanya menolak bantuannya, tapi seharusnya dia ada disini, jika bukan
kerena dia, kakiku akan baik-baik saja, celotehku.
“butuh bantuan ?”
Aku melihat kearah sumber suara, rupanya Arnold. Aku
senang dia tidak meninggalkanku sendiri. Dengan wajah tidak berdosa, dia
menyuruhku, naik keatas punggungnya, aku tak bergeming.
“ ya sudah kalau tidak mau, benar-benar susah bicara
sama cewek keras kepala” katanya sambil meletakkan dua jarinya dijidatku lalu
mendorong kebelakang.
Tanpa bicara lagi, dia berjalan menjauhiku.
“ ya, aku mau” tuturku kesal.
Dia berbalik kearahku dan tersenyum licik. Aku naik
ke punggungnya. Lalu melingkarkan tanganku di lehernya. Sebenarnya aku malu
menerima tawarannya, tapi hanya dia yang ada disini. Tidak ada orang lain lagi.
“ tidak usah sungkan” ucapnya padaku
“apa ?” tanyaku
“ tidak usah sungkan Raya”
Aku tidak menjawab.
“ kamu berat juga, makan berapa piring sih ?”
tanyanya padaku
“ mau tau saja”
“ badan kamu kecil tapi beratnya minta ampun”
ujarnya lagi
Aku diam menahan tawa. Rasakan, makanya jangan
bandel kalo dikasi tau. Bisikku dalam hati, lagi pula siapa suruh sih, kamu
bikin aku kaget sampai-sampai aku harus lari dan jatuh kesandung batu.
“turun disini saja ya Ray, aku sudah capek” katanya
padaku
“ trus aku pulangnya bagaimana dong?” tanyaku
“ hahaha” tawanya, sambil terus berjalan
menggendongku.
*
* *
Aku tidak bisa berhenti tertawa, membayangkan wajah
Arnold yang merah akibat menggendongku sampai ke asrama. Beberapa kali dia
berhenti dijalan, untuk mengambil nafas. Sebenarnya aku kasihan melihatnya tapi
mau bagaimana lagi, kakiku sakit dan aku tidak kuat jalan. Sampai diasrama, dia
masih menjagaku. Dia membersihkan kakiku, lalu mengompresnya dengan air hangat,
untuk menghilangkan bengkaknya. Jujur belum pernah ada yang memperhatikan aku
seperti ini. Aku tersanjung dengan sikapnya. Setelah mengompres kakiku dengan
air hangat, dia bergegas ke apotik membelikanku salep. Arnold, apakah yang kau
lakukan ini cinta ?
Kupandangi salep pemberiannya yang masih utuh,
entahlah, aku tidak ingin memakainya, sebagai gantinya aku meminta Marinka
untuk membelikanku salep yang baru. Aku masih terus mengingat kejadian itu
padahal itu seminggu yang lalu. Sekarang kakiku sudah sembuh. Aku merasa
beruntung memilikinya, tapi aku sudah berjanji untuk memutuskannya. Dan aku
tidak bisa melanggar janjiku. Aku masih ingat, kami tidak akan pernah bisa jadi
satu. Memang benar, itulah kenyataannya. Aku dan Arnold tidak akan bisa menjadi
satu, aku selalu membayangkan dia akan masuk dalam aqidahku, tapi apakah
mungkin ?. Kugelengkan kepalaku.
Bila cinta mendatangimu, ikuti dia. Walau jalannya
sulit dan terjal. Ketika cinta memahkotaimu, ia akan menyalipmu. Cinta
membuatku mengetahui rasa sakit dari kelembutan. Cinta membuatmu berdarah
dengan bahagia dan nikmat. Cinta membuatmu terbangun saat senja dengan hati
bersayap dan berterima kasih atas hari yang suka cita. Ketika kau mencintai
janganlah berkata, Tuhan ada dalam hatiku, berkatalah aku ada dihati Tuhan.
Karena hati hanya cukup untuk cinta.
“ suka baca buku Kahlil Gibran juga ?” Tanya
seseorang disampingku
“ ah, lumayan suka. Tapi nggak pernah koleksi sih “
jawabku
“ trus, kamu beli buat siapa?” Tanyanya lagi
“ buat temen, ya sudah aku duluan” kataku tersenyum
padanya.
Tiba-tiba saja aku teringat, kata-kata itu,
kata-kata yang ada dibuku kahlil Gibran, ya aku ingat dengan jelas. Aku pernah
membacanya saat bertemu dengan Gilang ditoko buku, tepat sebelum aku belum
mengenalnya sebagai pacar baru Maya. Apakah benar seperti itu ? tanyaku dalam
hati. Aku tidak boleh larut dalam cinta. Aku harus teguh dengan pendirianku.
Aku harus teguh. Kuusap wajahku, kenapa rasanya sakit ?
“ Raya,.. ayo masuk, kok melamun disini” ujar
Marinka
“ Marinka, ah iya,…” ucapku sambil tersenyum
*
* *
Aku menunggu Arnold keluar dari kelasnya. Sudah
sejam aku duduk disini. Ada hal penting yang harus aku biacarakan padanya. Aku
harus bicara, jika tidak aku semakin tidak bisa lepas dari belenggu ini.
“Raya, kamu ngapain ?“
“ Mar, kau….. “
“ hm… aku tahu, ya sudah aku balik dulu ya Ray”
Aku mengangguk. Kulirik lagi jam ditanganku. Kenapa
waktu jadi terasa lama seperti ini ? Akhrnya Arnold keluar dari ruangannya, aku
mendekatinya dan meminta dia ikut denganku. Aku sudah sampai ditaman kampus.
Kali ini aku menatapnya tenang, hatiku menjadi ragu lagi ketika berada
didepannya, keputusanku sudah bulat, lebih cepat akan lebih baik.
“ maaf, aku kira, kita tidak cocok. Aku sudah cukup
mencobanya” ucapku padanya
Arnold melihat kearahku lalu tersenyum.
“ aku tidak sedang bercanda, mulai saat ini kita
tidak ada apa-apa lagi, lagi pula, aku belum menjawab pertanyaanmu kan ? kita
belum sepakat untuk pacaran, jadi aku mohon berhenti mengejarku.” ucapku
sedikit menyesal
Arnold diam
“aku sudah selesai dan, dan terima kasih untuk
semua“ kali ini aku bergegas pergi.
Kubalikkan badanku dan kulangkahkan kakiku. Arnold
menarik tanganku, aku mencoba melepaskan genggamannya. Dia semakin kuat
menggenggam tanganku. Kucoba melepaskan tangannya dengan kedua tanganku. Aku
mulai meronta, tapi Arnold tetap menggenggam tanganku. Seberapa kuat aku
melepasnya, semakin kuat pula ia menggenggam tanganku. Aku lelah, wajahku
menjadi merah padam. Lalu Arnold melepaskan genggamannya.
“ sakit ? ” tanyanya geram.
Aku tak bergeming, aku takut menatap wajahnya, kali
ini Arnold yang melangkah menjauhiku. Kupenjamkan mataku mendengar ucapannya,
jangan bodoh Raya, ini kesempatan emas. Ini tidak akan sakit, percaya Raya,
kukuatkan hatiku menghadapi kenyataan. Sebelum semuanya terlambat, hatiku
berkecamuk, kenapa aku merasa sakit Tuhan ?. Perutku tiba-tiba terasa sakit, aku
memegangnya kuat-kuat. Tanganku mulai terasa dingin, semuanya dingin. Kugigit
bibirku yang sejak tadi mulai bergetar. Keringatku mengalir deras, badanku
menjadi semakin dingin. Lemas sekali, aku kehilangan tenaga. Sakit sekali
perutku bisikku dalam hati, kucoba untuk berjalan, langkahku sempoyongan. Aku mulai
kehilangan keseimbangan dan jatuh. Semuanya menjadi gelap seketika.
*
* *
Aku membuka mata, ruangan yang aku lihat, terasa
asing. Kututup kembali mataku lalu
perlahan-lahan aku buka. Aku baru sadar ini rumah sakit. Badanku masih lemas,
kepalaku masih terasa berat, kulihat jarum infuse melekat ditanganku. Aku
berusaha bangun, lalu Marinka muncul dari balik pintu.
“ Raya…” ucapnya girang mendekatiku
Aku hanya tersenyum kecil padanya. Perutku kembali
terasa sakit, aku menahannya kuat-kuat, Ia membantuku untuk bangun. Pelan-pelan
kusandarkan punggungku. Marinka lalu berlari mencari dokter yang menanganiku. Satu
menit kemudian dia sudah berada datang bersama perawat dan dokter. Dokter
memeriksaku dengan seksama, lalu memberiku suntikan agar aku merasa tidak sakit
lagi. Tubuh menjadi lemas, aku hanya
diam dan mengatupkan mulut rapat-rapat. Dan bertanya dalam hati sakit apa aku ?
“ perkembangan yang cukup bagus, sudah beritahu
orang tuanya ?” tanya dokter pada Marinka
“ belum dok” jawab Marinka
“ kalau begitu, beritahu orang tuanya, syukurlah
teman kamu baik-baik saja. Tidak ada masalah lagi dengan lambungnya” jelas
dokter
“ makasih banyak dokter” jawab Marinka
Setelah berpamitan, dokter dan perawat beranjak
keluar dari kamar perawatanku. Marinka terlihat senang, dia tersenyum
menatapku.
“aku sakit apa Mar ?” tanyaku padanya
“ kata dokter ada peradangan gitu di lambung kamu,
karena kamu sering telat makan, banyak makan asam dan lombok, stress juga”
jelas Marinka
Aku mengangguk pelan. Aku melanjutkan bicara pada Marinka,
aku memintanya agar tidak memberitahu orang tuaku. Lagi pula kondisiku sudah
membaik. Aku tidak mau mereka khawatir, Marinka mengiyakan. Marinka cukup
mengerti aku, aku senang punya sahabat seperti dia, meskipun baru kenal dan
dekat dengannya, tapi dia sangat memahami aku.
*
* *
Sudah seminggu aku dirawat dirumah sakit. Setiap
hari aku harus makan makanan rumah sakit yang rasanya hambar. Sesekali Marinka
membawakan aku makanan yang dia buat di asrama. Selama seminggu terakhir dia
menemaniku dirumah sakit. Sering aku memintanya untuk istirahat diasrama saja,
karena aku tidak tega melihatnya berbaring diatas sofa, dan sering aku
bangunkan tengah malam, untuk menemaniku ke kamar kecil, tapi dia selalu
berdalih, tidak kerasan tinggal diasrama karena aku tidak ada.
Bosan rasanya tinggal dirumah sakit, tidak ada
kegiatan apapun. Yang aku lakukan hanya beristirahat ditempat tidur.
Benar-benar membosankan. kuputuskan berjalan-jalan keliling rumah sakit, sambil
memegang botol infuse. Aku duduk di kursi panjang, sambil memandangi pasien
lain yang berjalan mondar mandir dibantu perawat rumah sakit. Pikiranku tiba-tiba
tertuju pada Arnold, kenapa dia belum datang juga menjengukku ?. aku ingat saat
terakhir kali aku bertemu dengannya. Tatapannya yang tajam, aku tahu ia
membenciku. Lagipula untuk apa dia datang menjengukku, kami sudah tidak ada
hubungan lagi. Semuanya sudah berakhir. Air wajahku berubah sedih. Apakah aku
telah melakukan kesalahan ? tapi aku ? Tuhan, kenapa aku merindukannya, teramat
merindukannya.
Aku beranjak dari kursi dan kembali kekamar, sampai
dikamar kurebahkan badanku diatas tempat tidur. Kupejamkan mataku berkali-kali.
Pikiranku kembali tertuju pada Arnold. Aku berusaha menepis bayangannya. Aku
tidak boleh begini. Saat aku berbalik, tiba-tiba saja ada tangan yang menutup
mulutku. Aku tersentak lalu berbalik, Arnold ucapku tidak jelas, karena mulutku
tertutup tangan. Bahagia rasanya dia datang, aku tersenyum. Dia menempelkan
jari telunjuknya ditangannya. Akupun mengikuti gerakaran tangannya. Dia
memberikan aku jaket dan menyuruhku memakainya. Dia mengajakku keluar, awalnya
aku tidak berani, tapi dia berjanji akan membawaku pulang tepat jam sepuluh
malam. Aku mengangguk, kulepaskan jarum infuse ditanganku. Lalu mengikutinya
dari belakang. Pakaian rumah sakit membuatku gampang dikenali, untuk itu dia
membawakan aku jaket. Kami berjalan sembunyi-sembunyi, dia merangkulku lalu
memakaikan kupluk jaket ke atas kepalaku. Aku tidak sengaja bertemu dengan
dokter yang merawatku, kami lalu putar haluan. Aku tidak bisa menahan tawa,
melihat apa yang dilakukan padaku. Kupandang wajahnya dengan senyuman bahagia.
Entahlah, aku merasa sangat bahagia.
Beberapa saat kemudian kami sudah berada di depan
rumah sakit, aku melepaskan kupluk yang sejak tadi menutupi rambutku. Kami
tertawa, sejenak lalu berlari kecil menjauhi rumah sakit. Aku tidak berfikir
kemana ia akan membawaku. Yang aku fikirkan adalah bagaimana caranya
menghabiskan waktu ini dengannya. Aku terlalu bersemangat lari, aku tidak sadar
kalau aku belum sembuh benar. Perutku terasa sakit, akupun duduk sambil
memegangngya.
“sakit lagi ya ?” tanya Arnold padaku
Aku hanya mengangguk. Dia lalu menyuruhku naik
keatas punggungnya. Aku menurutinya. Kusandarkan wajahku dipunggungnya.
“ Arnold boleh pinjam uang kamu tidak ?” tanyaku
padanya
“ buat apa ?”
Aku dan Arnold masuk kedalam mini market, Arnold
memberikanku satu kotak es krim. Aku senang mengambilnya. Kami berdua
memutuskan untuk duduk ditaman malam ini. Kami duduk dibawah lampu taman,
banyak sekali orang yang duduk ditaman. Tanpa memperdulikan mereka, aku makan
es krim. Sudah lama rasanya aku tidak makan es krim, tututku dalam hati. Aku
makan dengan lahap. Sekejap separuh dari isi kotak es krim sudah berada dalam
perutku. Arnold lalu menutup kotak es krim, lalu mengambil sapu tangan dalam
jaketnya, lalu menyerahkannya padaku. Aku mengambil sapu tangan itu dari
tangannya. Ku lap bibirku dengan sapu tangan itu. Arnold lalu memberiku sebotol
air dan meyuruhku untuk minum, akupun menurutinya, kutegak air mineral lalu
menyerahkannya kembali padanya. Dia tersenyum menatapku, aku membalas senyuman
itu.
Aku menyandarkan punggungku di kursi. Kami sibuk
dalam fikiran kami masing-masing. Tuhan aku bahagia sekali, sangat bahagia, aku
sadar aku sudah jatuh dalam perangkap yang kau buat sendiri. Tapi cinta ini
sudah menarikku terlalu jauh, aku susah untuk kembali.
“Ayo pulang” kata Arnold padaku
Aku mengangguk pelan. Aku lalu berdiri didekatnya,
baru saja aku melangkahkan kaki, perut terasa sakit lagi. Aku meringis dan
duduk kembali di atas kursi. Arnold menyuruhku naik kepunggungnya. Ini sudah
kesekian kalinya ia menggendongku dipunggungnya. Aku menuruti perkataannya.
Kami berjalan, melewati jalanan yang sudah sunyi. Bintang bersinar lebih terang
diatas sana. Kusandarkan lagi kepalaku dipunggungnya. Aku sudah lelah, mataku
hampir terpejam.
“sakit ?” tanyanya padaku
Aku bangun, tidak mengerti dengan ucapannya. Dia
lalu menyentuh tanganku yang melingkar dilehernya. Aku mengerti apa maksudnya,
lalu kugelengkan kepalaku.
“maaf…”ujarnya pelan
Aku mengangguk
“hari ini sudah empat bulan Ray, aku hanya akan
bertanya satu kali padamu. Katakan jika kau tidak mau melanjutkannya. Aku akan
menurutinya” ucapnya padaku
Aku kaget mendengar ucapannya. Benar ini sudah empat
bulan hubungan kami berjalan, lebih tepatnya hari jadian kami. Aku senang dia
mengingatnya. Aku mengira, dia sudah lupa. Benar juga, mungkin dia sudah lelah
dengan semua ini, dia butuh kepastian.
“ Arnold, aku minta maaf atas semuanya. Aku mau kita
tetap seperti ini” tuturku, untuk pertama kalinya aku mengikuti kata hatiku.
Aku mendengar suara tawanya, dia senang mendengar
semua kata-kataku. Tubuhku benar-benar lelah. Aku menyandarkan wajahku kembali dipunggungnya.
Mataku terpejam, tak lama kemudian aku tidur dan saat aku terbangun, aku sudah
berada di ruang perawatanku, dengan infuse yang sudah terpasang ditanganku. Jam
sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku melihat Marinka terbaring di atas sofa.
Entah kenapa malam ini aku benar-benar bahagia. Aku kembali memejamkan mata.
Wajahnya kembali terbayang. Arnold, bisikku dalam hati.
*
* *
Hari ini dokter sudah memperbolehkan aku pulang.
Dengan syarat aku masih harus menjalani kontrol 2 kali seminggu, untuk melihat
perkembangan penyakitku. Hari ini Arnold tidak datang menjemputku, ya aku yang
memintanya. Hari ini aku akan pulang bersama Marinka.Dua minggu dirumah sakit
benar-benar menyiksaku. Tapi apa boleh buat, aku harus melewatinya, mau tidak
mau. Syukurlah, dokter dan perawat masih berbaik hati merawatku, setelah aku
kabur dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.
Udara pagi ini, benar-benar segar. Selama dirumah
sakit aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam menghirup udara pagi. Benar-benar
terasa hangat. Dan mungkin saat kembali ke asrama, aku akan sulit menikmatinya.
Ya, kuliah yang kemarin tertinggal harus aku kejar, dua minggu tidak masuk membuatku
terlambat mengikuti studi. Untunglah aku masih punya Marinka, dia sudah
berjanji akan membantuku. Setengah jam perjanan dari rumah sakit, kami sudah
sampai di asrama. Marinka membantuku
untuk melewati anak tangga. Kebetulan lift asramaku sedang di perbaiki, jadi
kami harus menggunakan tangga. Kamipun sampai di kamar asramaku, Marinka
membereskan pakaianku, meletakkan baju-baju bersih didalam lemari.
“Thanks Mar sudah bersihin asramaku selama aku
dirumah sakit” kataku
Marinka hanya tersenyum. Seperti yang kuinginkan
Tuhan mengabulkan doaku, aku sekarang punya sahabat yang benar-benar ada saat
aku membutuhkannya. Sama seperti Maya, Marinka tidak pernah pamrih padaku.
Semoga ada waktu untuk membalas semua kebaikannya.
“ ya sudah kamu baring gih, kata dokter kamu masih
butuh banyak istirahat, jangan bandel. Dan jangan kabur lagi. Pokoknya, aku
sudah bilang sama Arnold, selama satu minggu masa pemulihan, dia tidak boleh
menculik kamu lagi. Dengar “ terang Marinka padaku
“ ya… kali ini aku akan menuruti kamu” kataku pelan.
“ kamu istirahat, dua jam lagi aku balik kesini, ada
urusan bentar. Kalau ada perlu, kamu tinggal telfon aku saja. Obat dan
makanannya aku sudah siapkan diatas meja. Ya sudah, kamu tidur, sejam lagi kamu
harus minum obat, aku pergi dulu ya…. Da…” katanya sambil tersenyum
Dia lalu melangkah mendekati pintu, dan menutupnya
dari luar. Aku bergerak mendekati meja belajarku kuraih ponsel dan earphoneku.
Lalu kembali ke atas tempat tidur, kuputar musik dan kudengarkan lewat
earphone. Perlahan kupejamkan mataku yang mulai terasa berat. Kuputar posisiku
menghadap jendela, kurasakan angin bergerak menghembus wajahku pelan. Sekejap
aku sudah terlelap dalam tidur.
Sejenak kulupakan semuanya, tentang cintaku,
pilihanku dan ketakutanku. Aku benar-benar duduk sendiri. Menikmati waktu yang
kurasa akan hanya menjadi milikku sendiri. Tidak ada orang lain, juga Arnold.
Hanya ada aku dan nafasku. Diam tanpa bahasa, semuanya kembali dititik nol. Garis
dimana aku bermula menjadi rangkaian ikatan yang mewakili diriku sendiri. Ada
rasa nyaman berada dititik ini, kau tak perlu berlari mengejar yang lain. Kau
punya jalan sendiri. Tak perlu risau dengan nasib, karena ia telah tahu masa
depan untukmu. Yang perlu kau lakukan hanya duduk dan meresapi hembusan angin
yang bergerak memenuhi wajahmu. Tenang begitu tenang.
Kelopak mataku bergerak pelan, tanganku terasa
hangat. Kubuka mataku, wajah yang pertama kali kulihat, wajah Arnold. Dia
tersenyum ringan, aku sedikit canggung berhadapan dengannya, segera kutepis
tangannya dari tanganku. Aku masih belum membuka suara, bingung dengan dia,
darimana dia bisa masuk ? padahal, peraturan asramaku jelas-jelas melarang
laki-laki masuk kecuali jika keadaannya benar-benar terpaksa, apa dia sudah
mengantongi izin dari penjaga asramaku ? ku perbaiki posisi dudukku, dan
kurapikan rambutku. Ku usap wajahku berkali-kali. Arnod hanya diam menatapku.
Kenapa dia ?
“sudah, kamu negative aja sama aku”
Aku meliriknya heran
“minum ini, lalu makan” katanya sambil menyodorkan
segelas air putih dan obat yang sudah Marinka siapkan untukku
Kuperhatikan obat yang sudah ada ditanganku.
“tenang, itu masih steril, dan nggak aku tambah-tambahin,
atau kamu mau dibantu minum obatnya ?” tanyanya padaku
Aku menggeleng, segera kumasukkan obat kedalam
mulutku, kutelan dengan bantun air putih. Kuusap sisa air putih yang menempel
dibibirku, setelah itu kuserahkan gelas air yang sudah aku minum pada Arnold.
Aku masih heran, padanya, apakah dia sudah dapat izin atau belum, sebelum masuk
kekamar asramaku ?
“sudah dapat izin ?“ tanyaku padanya
Dia hanya mengangguk. Dia duduk menghadap jendela.
Kenapa sikapnya hari ini aneh sekali, dia hanya sedikit bicara padaku ?
kuperhatikan wajahnya. Ia berbalik menatapku lalu tersenyum, aku tidak membalas
senyumnya. Arnold mendekat dan duduk di dekatku. Dia lalu berbisik padaku.
“ Ray, aku belum izin sama penjaga asrama, jangan
bilang-bilang ya” katanya pelan
“ trus kamu kesini lewat mana ?” tanyaku berbisik
“ lewat jendela” tangannya menutup mulutku
Kelepaskan tangannya dari mulutku. Aku mengendus
kesal, bagaimana ini ? kalau sampai ketahuan bisa gawat. Aku lalu menyuruh
Arnold pulang sebelum penghuni asrama yang lain mengetahui keberadaannya.
Mulutku tak henti berceloteh, Arnold kamu itu gila apa ngendap-ngendap masuk
kekamar orang lain. Ini bukan kemarin, kemarin kamu boleh masuk karena
kondisinya sedang darurat. Kujelaskan padanya, dia hanya mengaruk-garuk kepala
dan tersenyum padaku, setelah menemaniku makan siang, sebagai janjinya dia akan
kembali ke asramanya. Syukurlah, tidak ada satupun anak asrama yang tahu
keberadaannya sampai dia benar-benar keluar dari asramaku. Arnold kemu memang
manusia paling gila yang pernah aku kenal.
*
* *
Hari ini aku kembali masuk kuliah, senang rasanya
kembali kuliah. Aku bergegas masuk keruangku. Semua teman-temanku menyambutku
dengan baik mereka sibuk menanyakan keadaanku. Mereka benar-benar membuatku
semangat untuk belajar lagi, setelah kemarin aku harus kehilangan waktu untuk
belajar. Setelah meminjam catatan dan materi dan marinka. Aku masih harus
mengerjakan paperku. Dosen, memberiku waktu seminggu untuk mengerjakannya,
syukurlah aku diberi kelonggaran. Usai jam kuliah aku beranjak keperpustakaan
untuk mencari refensi dari buku. Buku
tetap menjadi andalanku sebagai tambahannya aku akan mencari jurnal banding
dari internet. Aku harus mengerjakannya dengannya cepat. Ujian tengah semester
menantiku minggu depan, jadi semua paperku harus cepeat selesai agar aku bisa
belajar untuk ujian tengah semester.
Jam sudah bergerak ke angka 11. Mataku belum juga
terpejam, aku masih sibuk mengutak atik laptop yang ada didepanku. Mulutku
menguap, ini sudah yang kesekian kalinya. Tapi kucoba untuk tetap terjaga.
Ponselku berdering.
“ halo, ada apa ? aku sibuk…” jawabku
“ keluar asrama sekarang, aku tunggu”
Arnold menutup telfonnya. Ada apa lagi
dengannya ? suaranya terdengar kesal.
Aku mengambil jaket, lalu turun dari kamar asramaku. Aku berjalan kedepan
gerbang, kulihat sekelilingku, kemana dia ? tanyaku.
“ ayo pergi, aku mau bicara”
Arnold mengagetkanku. Tanpa membalas ucapannya aku
menurutinya. Kuikuti langkahnya dari belakang, aku menguap lagi, mataku
benar-benar mengantuk. Kuusap mataku dan kukedipkan beberapa kali. Kami
berhenti di jalanan sepi depan gerbang kampus. Aku melihat Arnold, tangannya
masih menggenggam tanganku, matanya melihat kesekeliling kami, entah apa yang
dia cari. Dia lalu menarikku, aku mengikuti langkahnya. Dia menyuruhku duduk
disampingnya. Kupegang kepalaku yang sejak tadi mulai terasa berat.
“ Ada apa Ar ?” tanyaku
“ butuh bantuan ?” tanyanya padaku
Aku menggeleng, aku belum faham apa maksudnya.
“ masih sakit Raya…., kamu masih sakit sudah mulai
begadang, kamu apa-apaan sih ?” tuturnya kesal
Aku tersentak, lalu menatapnya. Aku menelan ludah.
“ pulang dan tidur, no laptop and no tugas, aku
balik dulu ” katanya bergegas pergi dari hadapanku
Aku masih heran dengan apa yang dilakukan, sebesar
itukah rasa perhatianmu padaku ? Arnold, kau membuat aku gila. Sungguh kamu
memang selalu ada, menasehatiku, menjagaku dan mencintaiku. Aku berlari mendekatinya,
kupeluk tubuhnya dari belakang. Hatiku semakin luluh. Inikah cinta ? hal yang terjadi
begitu cepat denganku. Aku sadar sepenuhnya, akan ada banyak pertentangan
diantara kami. Tapi hatiku telah jatuh, jatuh tepat di hatinya. Cinta telah menyeruak,
aku tak bisa menolaknya lagi. Apapun itu. Aku mencintainya. Perasaan nyaman
ketika berada didekatnya, perasaan canggung dan jantungku yang selalu berdetak
kencang saat berhadapan dengannya cukup membuatku membuka mata untuk menjemput
cintanya. Aku bahagia, tapi tiba-tiba aku mengucapkan kata-kata yang membuatku
tersiksa selama ini.
“Hm…. Arnold Kenapa Tuhan bikin kita beda ya…”
“ karena hanya dengan perbedaan, kita dapat saling
mencintai”
“ sok puitis kamu Ar”
Dia menghadap ke arahku, lalu memandangku dengan
serius
“hahahaha, memang kenyataannya kan” jawabnya ringan
“lalu, kenapa kita mesti beda Ar ?” kali ini aku
bertanya padanya, rasanya berat bertanya hal itu padanya. Kutatap kembali matanya
“karena hanya dengan cara itu kita bisa ketemu”
“andai waktu kembali ke zaman alam rahim, aku cuma
mau minta satu hal sama Tuhan”
“apa itu ???” tanya padaku
“aku pengen kita diciptain sama-sama, tidak ada
perbedaan sedikitpun” ujarku tersenyum.
*
* *
Baru saja aku merasakan bahagia, waktu itu berhenti secara
tiba-tiba. Beberapa hari ini Arnold menghilang entah kemana dia. Aku rindu
padanya. Sayangnya kami tak sekelas. Aku sudah mencari tahu ke teman-teman
dekatnya. Mereka hanya bilang kalau beberapa hari ini Arnold ada urusan dengan
pak Darman. Memangnya ada urusan apa coba ?. ya sudahlah.
Aku sudah cukup usaha, telfon, sms tak ada satupun
yang dia jawab atau dia balas, bahkan aku sudah mencarinya beberapa kesemua
tempat yang ada di kampus ini, tapi tak munculnya juga batang hidungnya. Sabar
saja, nanti dia juga datang mencariku.
Sudah seminggu si Jelek itu tak muncul, kemana dia ?
aku mulai gelisah. Dari pada aku pusing mikirin dia lebih baik aku ke jalan-jalan
saja sambil motret perbukitan saja. Akhirnya aku memutuskan untuk keperbukitan,
lebih tepatnya di kaki bukit. Sore nanti lepas ashar aku berangkat. Kuliah
tinggal setengah jam lagi, aku nikmati detik-detik ini, walau sebenarnya
pikiranku ada ditempat lain. Kuliah selesai, aku beranjak ke kantin mengisi
perutku yang kosong. Dan sebelum kembali ke asrama, aku harus belanja dulu ke
minimarket, persedian dapurku sudah kosong.
Semua barang belanjaan, aku bawa kekasir lalu
membayar tagihannya. Akupun keluar dari minimarket, meletakkan belanjaanku di keranjang
sepedaku, dan meninggalkan minimarket sambil menuntun sepedaku. Berjalan kaki
ke asrama enak juga, ujarku dalam hati.
Sampai di asrama, aku meletakkan semua barang
belanjaan ditempatnya. Setelah itu aku mandi, pakaian sholat dan bersiap-siap berangkat. Tak lupa kamera
kesayanganku aku bawa. Sore ini udaranya tak terlalu panas. Udaranya begitu
bersahabat. Setengah jam mengayuh sepeda akhitnya aku sampai juga di kaki
bukit. Aku lalu menyandarkan sepedaku di bawah pohin lalu berjalan mengitari
kaki bukit. Mencari objek pemandangan yang indah. Walau berkali-kali ke tempat
ini. Tempat ini masih terasa indah, walaupun aku memotret objek yang sama.
Lelah berkeliling, aku beristirahat dibawah pohon yang rindang. Tenggorokanku
kering, aku lupa membawa botol air mineralku padahal aku sudah menyiapkannya di
atas meja belajarku. Dasar pelupa.
“ ni aku bawain air buat kamu”
Aku kaget. Arnold…!!!!
sejak kapan dia berada disampingku ? kemana saja dia beberapa hari ini ? dan
dia lakukan disini ? apa dia dari tadi membuntuti aku ? dasar.
“ tak usah natapku kaget gitu dong”
Aku tetap diam,
“ kamu haus kan, ayo minum gih. Nanti kalau kamu sudah
minum, aku bakal jawab semua pertanyaan kamu, aku tahu di otakmu tuh banyak
pertanyaan nggak penting, nih….” Seraya menyodorkan sebotol air mineral
kepadaku.
Aku pun minum, mau tak mau. Aku kehausan. Setelah
menegak setengah dari isi botol ini, aku menghela nafas. Segarnya…. Makasih
Arnold ucapku dalam hati.
“ sama-sama” ucap Arnold
Hah, kan aku baru mau bilang, kok dijawab duluan
sih.
“ nggak usah bilang aku sudah tau kok Ray”
“ aku dari tadi buntutin kamu, soalnya aku
nyari-nyariin di kampus kemarin, kamunya hilang. larinya kemana aku tidak tahu.
Oh iya kamu juga pasti bertanya kenapa beberapa hari ini aku menghilang, iya
kan ?” ucapnya sambil menatapku.
Aku hanya mengerutkan kening.
“ tidak usah pasang muka mengkerut kayak gitu dong
Ray. Kamu jadi jelek.” Katanya sambil menahan tawa.
“ ish, apa sih.. enak saja ngatain aku jelek”
delikku.
“Seminggu ini aku bantuin pak Darman, bikin proposal
acara buat malam amal gitu dikampus. Jadi aku sibuk, aku tahu pasti kamu
nyari-nyariin aku kan, pasti kamu rindu banget” ceritanya padaku
“ aku, ya nggaklah… Aku cuma ngirain kamu marah”
“ marah gara-gara apa Ray” Tanya Arnold padaku
“ ucapan aku minggu yang lalu, maaf ya Ar…..”
“ tunggu dulu, memangnya aku marah ya ? ”
Aku menggeleng
“ Raya, aku diam bukan karena marah, jangan salah
faham lagi. Aku rasa kamu tahu sikapku, dan aku menghilang bukan untuk alasan
itu, ya karena memang kemarin aku sibuk dan tidak sempat bertemu kamu, lagipula
terakhir kita bertemu, aku masih baik-baik saja kan” jelasnya padaku
Aku menggenggam tangannya. Saat-saat bersamanya
sangat membuatku bahagia. Aku menangis. Entah apa yang kutangisi. Apakah ini
pertanda kalau aku takut kehilangan Arnold ? apakah aku sudah tak bisa pergi
darinya ?. Arnold mengusap air mataku lalu tersenyum. Arnold, cinta itu ada
karenamu, aku hanya berharap ada tempat untuk cinta kita.
“ Raya, maaf kalau….”
“ nggak kok “
“ ya sudah balik yuk, ni sudah jam lima”
“ ya…”
“ lagi pula kita bakal lama jalannya”
“ jalan ? kita kan bawa sepada Arnold” kataku
padanya
“ iya, tapi ban sepedaku bocor ” Balasnya padaku
“ tapi sepedaku masih ada Ar, kita bisa pake
sepedaku dulu. Besok baru kita balik kesini, ngangkutin sepeda kamu” nasehatku
“ tapi…..”
“tapi apa ?” tanyaku padanya
Aku hanya menggeleng kepala melihatnya. Otaknya bisa
jongkok juga. Aku menarik tangan Arnold menuju sepedaku. Dan betapa terkejutnya
aku saat mendapati sepadaku
“ Arnold, gawat ! ban sepedaku juga bocor. Tapi tadi
masih baik-baik saja “ ucapku bingung sambil memperhatikan ban sepedaku.
“ kalau aku boleh jujur. Hm, sebenarnya, aku yang
ngempesin ban sepeda kamu Ray. Supaya adil, dan lagipula kamu harus diet, badan
kamu sudah naik, sekalian olahraga …” katanya polos sambil tersenyum.
“ Arnold………………………………….!!!!!!!!!” Teriakku
*
* *
Semakin hari aku semakin mencintainya. Dia selalu
membuatku tenang berada didekatnya. Kali ini aku merasakan cinta, hal yang
paling ingin ku rasakan sejak dulu. Meski sebelumnya aku menolak merima
semuanya. Tapi sekarang yang aku rasakan, cinta yang begitu kuat. Jujur aku
takut dengan kenyataan, ya semakin kuat cinta yang kurasakan semakin sakit
untukku membayangkan perpisahan dengannya. Dunia seakan kiamat atau aku terlalu
berlebihan membayangkan. Entahlah perasaan itu selalu muncul tiba-tiba. Aku
takut semakin takut.
Malam ini ku coba menutup mataku kuat-kuat, mencari
ketenangan dalam tidur, biarkan malam menutup hatiku yang semakin resah, membiarkan suara angin mengalirkan
semangat untuk hatiku sendiri. Menghilangkan perasaan takut yang sering
membuatku resah dan tak menentu. Berkali-kali aku mencoba untuk membuangnya
jauh-jauh, tapi perasaan itu kuat-kuat menghempasku semakin jauh. Tuhan,
panjanglah waktuku bersamanya, aku belum bisa menghapus perasaan ini.
*Diadaptasi dari cerpen seutas asa dibalik tembok
tua