Sabtu, 10 Oktober 2015

Pelangi Malam Hari : Garis Merah






 Garis Merah


“Dasar bodoh” celetukku ketika mendegarnya bercerita
“ enak saja” balasnya padaku
Waktu istirahat kami habiskan duduk dibawah pohon, membahas masalah yang sama sekali tidak penting. Aku dan Arnold ribut film titanic
“Memang iya. Menurutku film titanic itu film romantis, tapi aku benar-benar benci endingnya”
“ nah, sekarang kamu yang bodoh” serangnya
“ kok balik ke aku ?”
“Ray, semua sutradara film punya cara sendiri untuk menentukan ending ceritanya, ya contohnya Jack harus mati !” terangnya padaku
“ justru itu yang tidak aku suka”
“Ray, kamu fikir cerita cinta itu akan hebat kalau endingnya bahagia ?”
Aku mengangkat bahu. Tidak tahu harus menjawab apa, dia selalu saja menang argumnent melawanku.
“ semuanya akan sempurna disini” katanya menyentuh dada
“ sok romantis kamu !!” ejekku
“ tapi kalau kita berada dalam situasi yang sama, aku rela Ray mati. Suer…!” ucapnya sambil mengangkat tangan. Aku tertawa mendengar ucapannya
“sekarang siapa yang bodoh ? aku atau kamu ?” tanyaku dengan wajah menahan tawa.
Arnold tersenyum kecut dia melanjutkan kata-katanya
“ benner Ray”
“dasar bodoh, sudah aku mau kembali ke kelas ! jangan menghayal yang aneh-aneh lagi ya anak manis” kataku sambil menepuk lembut pipinya.
“ Ray…. Aku…” teriaknya
Kubalikkan badanku, kulihat dia sejenak
“ Arnold, aku benci air dingin dan gunung es. Lagi pula aku tidak pandai berenang kan. Oh iya satu lagi aku bukan Rose dan kamu bukan Jack” kataku setengah berteriak
Kulihat wajahnya berfikir keras. Kubalikkan badanku dan kulangkahkan kakiku kembali.
“ anggap saja Ray” kudengar kata-kataku itu samar.
* * *
Dua puluh lima desember, denting bel gereja berdentang keras. Menyeruakkan kegembiraan bagi umatnya. Cahaya bahagia terpancar dari wajah wajah hambanya. Arnold berada tepat dibarisan paling depan umat yang sedang mengikuti doa. Wajahnya berbinar, sesekali iya tersenyum sumringah.
Arnold keluar gereja dengan jiwa yang baru, ia bersyukur tuhannya telah mempertemukan ia dengan Raya. Ia tak pernah menyesal mengenal Raya. Apapun itu, cintanya terlalu besar untuk Raya. Ia sadar perbedaan mungkin akan membuat jarak yang jauh antara ia dan Raya. Tapi ia tahu dengan pasti, Tuhan punya jalan untuk menyempurnakan kisah ini.
“ met natal sob…” Hardy
“ thanks “ jawab Arnold.
“ sudah dapat ucapan belum dari pacar kamu yang manis itu ?”
Arnold hanya tersenyum pada Hardy. Ia kemudian merangkul sahabatnya.
“ kerumah yuk”
“ oke….”
Tawa-tawa insan itu membahana. Mereka berjalan menyusuri jalanan kota. Sejenak Arnold melambungkan pikirannya. Terima kasih untuk hari ini Tuhan, kau telah mengantar satu babak yang harus aku lewati bersamanya.
* * *
Liburan natal dan tahun baru ini aku habiskan dirumah. Lumayanlah menghilangkan penat. Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun, setiap hari aku merasa semakin sempurna. Kali ini aku lebih lama sujud dihadapannya, membiarkan setiap curahan hatiku terdengar oleh-Nya. Aku duduk dan berdoa kepada-Nya. Senantiasa bersyukur. Tapi kali aku bertanya padanya, apa benar apa yang aku lakukan ?
Telfon genggamku berdering. Bergegas ku angkat.
“ Hay Raya…. Mentang-mentang liburan kamu jadi lupa sahabatmu” ujar Marinka di ujung telepon
“ tidak….” Jawabku pelan
“ eh Ray, kamu sudah kirim ucapan belum sama Arnold ?” Tanya Marinka
“ jadi kamu nelfon aku Cuma mau nanyain itu ?” tanyaku padanya
“ hehehe…. Ya nggaklah, kamu apa kabar ?”
“ Alhamdulillah baik.. Kamu ?”
“ baik dong…, jadi gimana liburannya ? seru ?”
“ iya lumayan serulah.. “
“ syukur deh, gimana ? kamu sudah kirim ucapan belum sama Arnold ?” Tanya Marinka penasaran
“ hm, Mar… mar……,”
“ sudah atau belum sih Raya”
“ hm, Arnold pasti tahulah Mar…”
Aku lalu menutup telfonku, sebenarnya aku belum mengirim ucapan padanya. Lalu aku berniat mengirimkan ucapannya. Aku sudah mengetik sms tinggal aku send ke nomor Arnold. Tapi aku mengurungkan niat. Kuhapus pesan itu. Aku tahu pasti Arnold tahu kalau aku sudah meniatkannya.
Diam-diam aku tersenyum, setiap mengucapkan namanya, hatiku menjadi tentram. Rasanya butuh seribu tahun untuk menuliskan cerita bersamanya. Seribu tahun atau mungkin lebih dari itu ?
* * *
“ sayang hati-hati ya dijalan, kamu baik-baik ya di asrama,jangan bandel” nasehat mama
“ iya mama sayang, Raya janji. Assalamualaikum”
“ waalaikumsalam”
Kali ini bapak yang mengantarkanku pulang ke asrama. Setengah jam kami habiskan untuk mencari tempat makan. Bapak tidak pernah berubah, ia masih tetap dengan kebiasaannya. Ketika makanpun ia harus menemukan selera yang cocok dengannya. Mungkin itu yang jadi alasan mama setiap bapak mengajak kami hunting tempat makan sekedar menghabiskan weekend, mama sudah terlebih dahulu mendiskusikannya. Setelah makan kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Aku menguap beberapa kali sampai akhirnya aku tertidur lelap.
Empat jam kemudian aku masih tertidur. Lelap juga. Akhirnya bapak membangunkanku. Kebiasaan burukku tidak pernah berubah, tidur seperti kerbau, dasar Raya. Setelah mengantarku sampai depan asrama, bapak berpamitan pulang. Setelah mencium punggung tangannya bapak(beliau)pun kembali kedalam mobilnya, dan berputar. Aku memperhatikan mobilnya hingga hilang dari pandangan mataku.
Akhirnya, aku kembali lagi ke tempat ini, tak terasa ini tahun ketiga aku menghabiskan waktu disini. Ku balikkan badanku menuju pintu asrama. Tiba-tiba punggungku terkena sesuatu. Ada yang melemparkan kerikil ke bahuku. Aku berbalik lalu memungut kerikil kecil yang tadi menyentuh bahuku tadi. Siapa sih nih pikirku dalam hati. Kurang kerjaan, baru datang, sudah disambut pake ginian. Tapi aku tak perduli, aku berbalik dan melangkah kembali menuju pintu asrama. Batu kecil itu kembali mengarah ke punggungku, aku mulai geram, untungnya aku pakai ransel. Kalau tidak pasti rasanya sakit. Akupun berbalik, tidak ada siapa-siapa dibelakangku. Sial, kerjaan siapa ini ? tanyaku dalam hati. Awas saja.
“ hai Raya “
Aku kaget pelan-pelan aku membalikkan badanku, aku takut.
“ hai…. ” ucapnya melambaikan tangan
Satu pukulan melayang di lengannya.
“ Arnold…., dasar…..” teriakku sambil mengejarnya.
Dia pun berlari menghindari pukulanku. Mulutnya komat kamit mengucapkan maaf, tapi kali ini ia tak akan mendapatkan ampunan. Aku terus mengejarnya, sambil tertawa. Matahari sore telah menghilang dibarisan bukit yang ada hanya mega yang terus terkikis oleh malam. Menanti sang rembulan hadir kembali kepangkuannya. Ada cinta yang selalu menggunung antara aku dan hatinya. Ikatan ini begitu tulus, seperti malam, aku selalu menantikan dirinya hadir dalam genggamanku.
* * *
Sejauh ini aku dan Arnold masih baik-baik saja, syukurlah. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat mengantarkan kami pada penghujung. Dua bulan lagi wisuda dan sesuai dengan janjiku ini saat yang tepat untuk mulai jujur dengan Bapak dan Mama, semoga saja mereka bisa mengerti, aku sangat berharap hal itu. Dan kalau mereka belum mengerti aku akan berusaha membuat mereka mengerti, terdengar egois tapi semoga saja oraag tuaku akan faham dengan keadaan ini.
Minggu ini aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan skripsiku. Aku dan Arnold sekarang sudah jarang bertemu, kami sama-sama sibuk. Setidaknya ini hanya untuk satu atau dua bulan kedepan. Lumayanlah, karena kalau sampai Arnold berada disampingku, skripsiku otomatis tidak akan selesai. Empat tahun terlewati begitu saja sekarang aku benar-benar merasa bahagia, ini tahap akhir kuliahku. Ini juga tahun keempat aku bersama Arnold, jika keluar dari kampus ini, pasti aku akan merindukan saat-saat indah itu. Sore nanti, aku berniat ke toko buku Indonesia, aku mencari sesuatu disana, buku penuntun penulisan skripsi. Aku menelfon Arnold tapi kali ini ia tak bisa menemaniku. Maklumlah dia juga sibuk. Akhirnya kuputuskan untuk pergi sendiri.
Di toko buku aku berjalan mengelilingi rak-rak buku yang terpajang rapi. Aku mulai mencari buku. Rak demi rak. Sulit sekali menemukan buku yang cocok. Akupun terpaksa membacanya satu persatu.
“ hai Raya “
Aku mengangkat wajahku menghadap wajahnya
“ Da-david !”
“ apa kabar ?” ia lalu bertanya padaku
“ baik, kamu sendiri ?” tanyaku padanya
Dia tersenyum, kami terlibat obrolan ringan sore ini. Dia membantuku mencari buku. Akhirnya aku menemukannya.
“ thanks “ ucapku padanya
“ sama-sama “ jawabnya sambil tersenyum.
“ kamu tidak berubah sama sekali “
Aku hanya tersenyum, melihatnya, lagi-lagi membuat aku kembali mengingat kenangan itu. Ini kali keduanya aku bertemu David, saat itu aku sedang bersama Marinka. Tiba-tiba saja aku teringat dengan gadis yang bernama Gita. Apa kabarnya ya ? dia pasti baik-baik saja. David adalah orang yang baik. Aku yakin dia bahagia bersama Gita.
Arnold tiba-tiba datang.
“ Maaf Ray, aku tadi ada urusan “ ucapnya terengah-engah
bukannya tadi kamu sudah bilang, ya ampun Ar…., aku sendiri juga tidak apa-apa” tuturku padanya
“ dia siapa Raya ? “ Tanya Arnold padaku
“ kenalin ini David,… teman SMA ku “ jawabku padanya
David lalu mengulurkan tangannya. Arnold pun menyambutnya dengan senyuman. Terlihat cukup bersahabat. Akupun pamit pada David. Langit sore ini tiba-tiba jadi mendung, Arnold memegang tanganku lalu berjalan melewati David. Kami pun melintasi perpustakaan, aku melirik David, ternyata dia sedang berbicara dengan seorang perempuan. Gita kah itu ? dia benar-benar cantik David. Kamu pantas mendapatkannya.
Sampai di asrama hujan benar-benar turun. Aku meminta Arnold untuk menunggu di bawah. Kupercepat langkahku menuju kamar asramaku, mengambil payung agar ia tidak basah. Ketika melewati tangga, aku melihat Arnold sibuk menadah air hujan. Dibalik kaca, aku menunjukkan payung untuknya, tapi ia menolak, dan berjalan kembali ke asramanya. Ia pun menghilang di balik hujan.
Tahukah kamu, kau selalu mengibaratkan dirimu seperti hujan, terkadang kau datang tanpa pertanda. Kau tiba-tiba datang  menghapus uap-uap panas, lalu menyebarkan dingin yang menyejukkan. Menumbuhkan hati yang dulu layu. Kau ibarat hujan yang membasuh kehausanku, menghilangkan penat yang dulu melingkupiku. Tapi akankah kau tahu hujan juga terkadang menghilang tiba-tiba dipusaran bumi, akankah engkau akan menghilang tiba-tiba juga dari pusaran hatiku ?
* * *

 “ Raya, tolong kegudang ya, ambilkan ibu beberapa pot-pot bunga disana, minta Marinka untuk bantu kamu ya “ pinta ibu Jasmin
            Aku pun beranjak kegudang ditemani Marinka.
            “ Raya masuk duluan gih “ ucap Maya padaku
            Akupun mengangguk pelan. Setelah masuk kegudang aku pun mencari pot bunga untuk ibu Jasmin, gelap sekali. Aku merasa dadaku tiba-tiba sesak, aku tidak bisa bernafas. Tanganku dingin, tubuhku mulai bergetar, dan dalam sekejap aku jatuh terduduk dilantai. Aku beringsut menuju pintu dengan sekuat tenaga, nafasku hampir habis. Aku sampai di depan pintu, tapi sial pintunya terkunci. Aku mencoba mengetuk pintu, tapi tenagaku sudah habis, aku tidak kuat lagi. Semuanya menjadi gelap seketika. Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
* * *
Aku membuka mataku, mendapati ruangan yang aku kenal. Ini kamarku sendiri, aku merasakan sakit di dadaku, rasanya aku semakin sulit untuk bernafas. Pelan-pelan ku menarik nafas dan mengumpulkan tenagaku.
“ Raya, kamu sudah bangun “
Aku melihat Marinka, wajah penuh dengan senyum. Akupun mengangguk.
“ syukurlah, aku cemas Raya, kamu tiba-tiba saja pingsan”
“ Arnold ?” tanyaku padanya
“ dia, dia keluar sebentar, katanya mau cari makanan buat kita “
Aku tersenyum
“ kamu beruntung punya dia Raya..”
Sambil mengusap rambutku. Lalu aku memilih untuk tidur. Kepalaku masih terasa berat, aku perlu istirahat setidaknya dua atau tiga hari untuk memulihkan kondisiku. Aku terlalu menguras tenaga untuk menyelesaikan skripsiku. Waktu yang tersisa tinggal dua bulan. Semoga saja skripsiku bisa selesai tepat waktu.
* * *
            “ sudah sehat bu ?” Tanya Arnold padaku
Aku tersenyum sumringah
“ ditanya malah senyum sendiri, jangan-jangan kamu sudah gila gara-gara pingsan kemarin ?”
“ kamu….”
“ apa lagi Ray…” katanya cemberut
“ iya-iya aku sudah sehat, mau coba ? “
“ coba apa Raya ? “ tanyanya padaku
Aku mengacungkan kepalan tanganku ke wajahnya. Kali ini dia hanya tertawa.
“ hm, iya deh bu…. Nggak. Aku tau kamu sudah sehat, lain kali jaga diri. Kalau sakit bukan aku yang rasain, tapi kamu sendiri ” ujarnya padaku
“ siap… Arnold, boleh pegang tangan kamu tidak ?” tanyaku padanya
Arnold mengangguk, akupun meraih tangannya, lalu memegangnya. Terima kasih untuk semuanya, kau selalu mengajarkanku untuk bisa berdiri sendiri. Cukup lama, untuk beberapa menit. Rasanya sulit untuk melepaskan genggaman tangannya. Sudah empat tahun kita selalu bersama. Bahkan hingga detik ini kita masih bersama, tapi bagaimana hari esok Arnold ?
* * *
            Seminggu lagi acara wisuda semuanya selesai dengan baik, tinggal waktu untuk menikmati hasil kerja kerasku. Universitas Guna Bangsa Makassar. Akhirnya cita-citaku terwujud, bergelar sarjana arsitek, aku ingin setidak-tidaknya aku bisa membagi dan menerapkan ilmu ini, supaya berguna. Aku memutuskan untuk menenangkan diri di pantai, Arnold pun setuju dan mengajakku untuk ke pantai.
“ Rahaya Najwah…” ucap Arnold padaku
“ iya Joseph “ balasku padanya
“ bisa aja kamu “
Tawaku lalu membahana. Sudah sejam yang lalu kami berada ditempat ini. Pantai ini benar-benar indah. Lumayan untuk menghabiskan waktu bersantai. Aku kembali menatap Arnold sambil tersenyum. Dia lalu berbalik menatapku. Lama aku membiarkan perasaanku larut didalamnya.
“ Raya… aku “ ucapnya padaku
Tangannya lalu menyentuh lembut wajahku, tatapannya semakin dalam. Jantungku tiba-tiba berdegub kencang, lebih kencang dari  biasanya. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Tubuhku bergetar hebat. Aku diam bertanya dalam hati. Apa yang akan dia lakukan padaku ?. Sejenak, wajahnya berdiam beberapa saat dihadapan wajahku. Kini ia menarik tangan kananku lalu menaruhnya tepat didadanya. Aku bisa merasakan degup jantungnya yang kencang. Nafasku kembali terengah. Ia semakin dekat, nafasnya, aku bisa merasakan nafasnya. Dengan lembut ia menempelkan pipinya dipipiku. Lalu mendekapku.
“ Raya…”
Aku tak menjawab, aku masih gugup dengan apa yang dia lakukan tadi. Aku mengira dia akan mencium bibirku, tapi ternyata dia tidak. Arnold kau hampir saja membuatku gila.
“ Raya, kenapa kamu diam ? kamu marah ?” tanyanya padaku
Aku tak menjawab, setelah sekian lama pacaran dengannya, baru kali ini wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Dia lalu berbisik padaku
“ aku ingin seterusnya seperti ini, berada dekat denganmu, mendengarkan suara nafasmu, dan jantungku berdebar seperti itu tiap kali aku memelukmu, kau bisa merasakannya kan ? ”
Kepalaku lalu mengangguk, aku berbisik dalam hati, aku juga ingin seperti ini, selamanya, tapi apakah itu mungkin ? aku semakin takut membayangkannya Arnold. Aku takut tak bisa lagi seperti ini.
“ maaf, kalau kau tak suka aku takkan mengulanginya ”
Aku memejamkan mata. Kau tidak mengerti sama sekali. Ini bukan salahmu, tapi ini salahku, aku salah mengira tindakanmu.
“ percaya deh, aku nggak bakal macam-macam sama kamu. Aku tuh sayang sama kamu. Atau jangan-jangan kamu marah karena aku tidak jadi mencium bibir kamu, iya ?
“ ish, apa-apaan sih kamu “ jawabku ketus
“ jadi kamu marah gara-gara itu ? kalau begitu ayo kita lakukan,,,” kata Arnold sambil tersenyum licik padaku.
Aku melepaskan pelukannya lalu mengambil jarak darinya.
“ ayolah Raya, aku tahu kamu juga maukan ?”
“ ish kamu ini, tidak…. aku tidak mau “
Ia kembali tersenyum licik. Dia beringsut mendekatiku, kali ini aku bersiap untuk lari. Dalam hitungan ketiga aku sudah menjauh tiga meter darinya. Ia bangkit lalu mengejarku. Aku berlari dengan cepat. Sementara itu Arnold tetap mengejarku sambil tertawa.
“ hahahaha, Raya.. aku Cuma bercanda “ teriak Arnold
Langkahku terhenti. Lalu kubalikkan tubuhku padanya.
“ kamu bohong, jangan dekat-dekat aku deh “ teriakku kesal
“ beneran, aku tidak bakal macam-macam ” katanya sambil berjalan ke arahku
“ ah… kamu tuh ya suka banget jailin aku”
Tiba-tiba tawaku meledak, begitupun dengan Arnold. Kejadian yang tadi membuat kami menertawakan diri sendiri. Arnold aku percaya kau tidak akan melakukan hal bodoh itu. Aku tau rasa sayangmu lebih dari itu, aku tau. Ujarku dalam hati sambil tersenyum.
Tangannya menepuk pundakku. Aku menatapnya, dia menatapku dengan wajah yang menurutku bodoh, iapun meletakkan jari telunjuknya tepat dibibirnya dan meletakkannya lagi tepat dibibirku. Satu pukulan melayang ke lengan kirinya. Ia meringis, dan akupun tertawa dihadapannya. Makanya jangan macam-macam sama aku tuturku dalam hati.
“ Raya…. Akukan cuma bercanda…” tuturnya kesakitan
* * *
            Pagi – pagi sekali aku sudah bangun, aku merapikan baju wisudaku. Dua hari yang lalu aku sudah mengepaki barang-barangku. Sudah lama sekali aku menempati kamar ini, kali ini aku meninggalkanya. Banyak kenangan indah disini. Aku kembali tersenyum.
            Acara wisuda berjalan dengan khidmat. Aku bangga bisa mendapat gelar sarjana. Aku bangga, bisa memberi sedikit kebahagian untuk orang tuaku. Arnold datang mendekati kami, aku tersenyum bahagia padanya. Dia juga sama, menyunggingkan senyum untukku.
            “ selamat siang om, tante “ ucapnya sopan
            “ selamat siang “ jawab bapak
            “ teman Raya yah “ Tanya mama senang
            Siang itu, Arnold berbincang dengan orang tuaku. Arnold bertemu orang tuaku, hatiku sedikit lega, bapak menyambut Arnold ramah, begitu juga mama dia sangat senang bertemu Arnold. Kelihatannya mereka bisa sedikit lebih dekat, buktinya Arnold bisa mendinginkan suasana, dan tentunya hatiku yang dari tadi deg-degan melihat Arnold berbicara dengan bapak dan mama. Semoga saja ini pertanda baik untuk hubungan kami. Aku berharap itu tuhan. Semoga saja orang tua kami paham dengan keadaan ini.
* * *
Acara wisuda kemarin benar-benar melehkan, sampai-sampai aku tertidur pulas lewat subuh tadi. Handphoneku berdering, pagi-pagi seperti ini siapa sih yang menelfon ? dengan mata tertutup aku meraba-raba tempat tidurku dan mencari sumber bunyi itu. Akhirnya aku mendapatnya. Aku mengantuk sekali, lalu kutekan tombol telfon.
“ Halo siapa ini ” tanyaku dengan suara serak
“ Raya kamu baru bangun ya “ Tanya Arnold di ujung telfon
“ hm… ada apa Ar, aku masih ngantuk banget nih “ ucapku padanya
“ Raya ini sudah jam sebelas “ kata Arnold dengan suara yang lebih keras
“ ah…. Masa sih ?” tanyaku kaget
“ kalau tidak percaya liat jam gih “ kata Arnold sambil tertawa
Aku melihat jam. Tenyata sudah jam sebelas lewat. Ah…. Telat bangun lagi ini.
“ Raya, ntar malam makan malam dirumahku ya” ajak Arnold
“ iya, kita ketemu dimana ? aku kan belum tau rumah kamu”
“ kita ketemu di depan Monumen Mandala “ jawabku
“ baik, sampai ketemu ya”
Klik, aku lalu menutup telfon Arnold, lalu bergegas ke kamar mandi dan mandi. Setelah mandi aku turun ke ruang tengah dan memeriksa isi rumah. Ternyata rumah kosong, aku hanya menemukan catatan di atas meja. Ternyata semua orang rumah keluar. Hm…. aku di tinggal sendirian di rumah. Aku mengambil roti dan sebotol air dari kulkas. Lalu duduk di depan tv, menonton semua acara sampai aku benar-benar bosan. Rindu rasanya dengan suasana asrama. Dan rindu saat-saat bersama Arnold. Aku jadi ingat kejadian dipantai, lucu, Arnold benar-benar bisa bikin aku jadi orang bodoh didepannya, sungguh aku merindukan saat-saat itu.
* * *

“ halo, Raya” kata Arnold membuka suara
“ iya, ini aku… kenapa Ar ? kita jadikan ketemu entar malam ?” tanyaku padanya.
“ Raya, aku minta maaf ya, acara makan malam sebentar kita batalin”
“ loh memangnya kenapa Ar ?” tanyaku padaku
“ keluargaku ada yang sakit Raya, jadi malam nanti kita semua berangkat ke Manado”
Astagfirullah, kasian sekali ujarku dalam hati.
“ kamu tidak apa-apakan Ray ?” Tanya Arnold lagi
“ tidak apa-apa, kamu baik-baik disana ya Ar… “ kataku pada Arnold
“ iya, kamu juga baik-baik yah?..”
“ Ar.. “
“ ya Raya..”
“ I miss you”
Telpon pun ditutup, hati Raya menjadi takut. Sebenarnya ia kecewa, tapi perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ia khawatir dengan Arnold, tapi ia berusaha menghilangkan perasaan buruk itu. Yang sakitkan keluarganya Arnold, bukan Arnold, Arnold pasti baik-baik saja. Gumam Raya dalam hati kecilnya.
* * *
Dua minggu berlalu dengan terasa berat. Arnold juga belum memberi kabar apa ia sudah sampai di Makassar atau belum ?  ia tidak pernah menelfon atau sekedar mengirim pesan ? dasar anak gila. Dia lupa apa kalau dia punya pacar. Arnold aku khawatir  sama kamu. Sore-sore begini enaknya ngapainnya ?
Bip…. Bip…
Telfonku berbunyi, ada satu pesan. Kira-kira siapa ya ? aku pun berjalan menuju meja belajarku untuk mengambil handphone. Kubaca pesan itu. ternyata dari Arnold,
‘maaf ya Ray.. 2 mnggu ini aQ nggk ngsih kbr.
aQ sibk Ray, bnyk yg aQ urus di Manado.’
Arnold
Membaca pesan Arnold aku jadi sedikit lega, syukurlah Ar… aku pun mengirim balasan pesan untuk Arnold.
‘ iya nggk apa2,
Setelah itu aku send ke nomor Arnold. Teriakan mama mengagetkanku. Aku pun bergegas turun ke bawah. Ternyata mama mau mengundang Arnold makan malam dirumah, ya ampun mama. Akupun memenuhi permintaan mama, aku menelfon Arnold lalu memintanya untuk datang, kamipun janjian ketemu di depan monument mandala.
Tepat jam tujuh aku sudah tiba didepan mandala, Arnold terlihat melambaikan tangan. Akupun berlari kecil kehadapannya. Hatiku senang sekali bertemu dengannya. Arnold pun tersenyum. Aku dan Arnold pun menyusuri jalanan menuju rumah dengan petunjuk dariku. Akhirnya sampai juga di depan rumah. Arnold terlihat biasa saja. Seharusnya dia tegang, syukurlah setidaknya tidak ada yang perlu aku khawatirkan.
Makan malam pun terlihat biasa saja, meskipun bapak dan Arnold terlibat obrolan yang hangat tapi, kenapa aku selalu merasa tak enak dengan acara makan malam ini. Begitupun mama, mama terlihat senang bercerita dengan Arnold, mama bahkan terlihat lebih akrab dengan Arnold dari sebelumnya. Rupanya hanya aku saja yang merasa tak enak waktu makan tadi. Semua orang terlihat baik-baik saja. Arnold pun berpamitan pulang, aku mengantarnya sampai depan. setelah pamit padaku, Arnold pun pulang dengan sepeda motornya. Aku masih terus menatapnya dari sini, hingga ia menghilang. Semoga saja ini pertanda baik untuk hubungan kita.
* * *
            Pagi sekali mama membangunkanku, ternyata surat lamaranku sudah diterima dan perusahaan meminta aku untuk interview jam Sembilan. Untunglah sekarang masih jam setengah enam, masih banyak waktu untuk bersiap. Maklum, Makassar macet jam tujuh dan delapan. Jadi setidaknya aku harus berangkat tepat jam tujuh. Berangkat naik angkutan umum lebih pas rasanya, aku tidak minta di antar mang maman, mama juga selalu menasehatiku untuk bisa mandiri. Makanya,aku memutuskan untuk naik angkutan umum. Jam setengah Sembilan aku sampai di perusahaan tempatku interview. Lumayan untuk istirahat sbentar. Aku masuk ke ruang tunggu, dan resepsionis memintaku untuk naik ke lantai delapan. Aku pun menurutinya, lalu naik ke lantai delapan. Sampai dilantai delapan, aku duduk diantara orang-orang yang akan di interview bersamaku. Banyak juga, lalu kusibukkan diriku membaca novel yang baru kubeli kemarin sekedar untuk menghilangkan rasa tegang yang melandaku. Satu setengah jam menunggu, akhirnya tiba giliranku untuk interview. Akupun masuk keruang interview, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan padaku.
            Interview pun selesai, aku pun melenggang keluar dan tinggal menunggu hasilnya minggu depan. Diterima atau tidak itu urusan belakang, yang penting aku lega interviewnya berjalan lancar. Lapar, bisikku dalam hati. Kuputuskan untuk pulang, akupun berdiri didepan jalanan menunggu angkutan umum.
“ hai Raya… ”
“ Arnold !!” ucapku kaget.
“ makan yuk… ” ajaknya
“ kamu tau aku disini darimana ? ” tanyaku heran
“ udah, ikut aja dulu, kamu pasti laparkan ? ”
Akupun menurutinya, ternyata Arnold mengajakku kerumahnya. Jujur saja aku merasa tidak enak dengan mamanya, jadi numpang makan deh ceritanya. Awalnya aku ragu makan makanan yang disiapkan mama Arnold, tapi ternyata Arnold sudah menyiapkan semuanya untukku. Rupanya Tante Rosaline, mama Arnold sudah tau, syukurlah. Dia terlihat senang berbicara denganku. Aku senang, tante Rosaline senang bertemu denganku, setelah makan, aku membantu Tante Rosaline membereskan meja dan mencuci piring. Rumah Arnold cukup besar, aneh juga jika keluarga Arnold tidak punya pembantu. Mereka keluarga berada, terbukti penampilan mamanya terlihat begitu elegan. Setelah semua beres kamipun menghabiskan waktu untuk bersantai diruang tengah, aku memperhatikan sejenak foto keluarga yang terpajang di dinding, Arnold pernah bercerita kalau dia punya adik laki-laki yang kuliah di Menado.
“ itu papanya Arnold, sekarang dia tugas di Kalimantan timur. Rumah sakit daerah disana “ ujar tante Rosaline
“ oh, papanya Arnold dokter ya tante ?” tanyaku
“ iya, papanya dokter, nah yang itu Ronald adiknya Arnold sekarang dia kuliah di Menado, minggu depan dia balik kesini. Kamu datang ya sayang, supaya kenal sama keluarga Arnold “ lanjut Tante Rosaline
“ iya tante.. Raya usahain. Ronald lebih cakep dari Arnold ya tante,  “ ucapku setengah ketawa.
“ enak saja, akulah yang paling cakep” ucap Arnold meledekku
“ kamu ini Ar, masih kayak anak kecil saja..” kata mama Arnold
Kamipun tertawa riang, aku bahagia bisa secepat ini dekat dengan mama Arnold. Dan beliau juga menerimaku dengan senang. Tepat jam tiga sore, akupun berpamitan, takut kalau mama mencariku. Sebelum pulang mama Arnold memberiku kotak kecil dan memintaku untuk menemuinya lagi. Arnold menawarkan untuk mengantarku pulang, tapi aku menolaknya. Hari ini senang rasanya bisa kenal dengan tante Rosaline, dia baik dan sangat ramah. Tuhan semoga ini pertanda hubunganku dengan Arnold direstui.
Sesampainya dirumah, mama bertanya padaku aku ketemu Arnold atau tidak. Mama juga bilang kalau pagi tadi dia datang mencariku, katanya ada yang ingin dia sampaikan, dan akhirnya mama memberi tahu kalau hari ini aku ada interview jadi mama menyuruh Arnold menemuiku di sana. Rupanya itu alasannya kenapa Arnold tiba-tiba tahu tempat interviewku.
Arnold kau tahu kadang-kadang aku berpikir, kita tidak mungkin bisa bersama walau rasa cinta ini begitu kuat menyambungkan hati untukkmu. Tapi hari ini Tuhan seolah-olah memberi angin segar untukku. Semoga kebahagiaan ini berlanjut hingga esok Arnold. Semoga saja kita bisa bersama. Aku ingin merengkuh satu kebahagian lagi bersamamu, doaku dalam hati.
* * *
Udara pagi terasa lebih segar. Hari ini hari pertama aku kerja. Ya, aku diterima kerja bersama tiga staf baru sainganku kemarin, syukurlah aku bisa diterima dan ikut lulus bersama mereka.Tempat kerja baru ini benar-benar nyaman. Aku bekerja di bagian design struktur bangunan, yang mengerjakan model pembangunan rumah, hotel, taman, perkantoran dan masih banyak yang lainnya. Awalnya aku sedikit ragu, tapi dengan bantuan teman-teman kantor dan beberapa staf senior aku jadi yakin mengerjakan projek pertamaku. Alhamdulillah, aku beruntung. Jam istirahat aku habiskan untuk makan di kantin kantor. Handphoneku berdering.
“ hai Raya…” sapa Arnold
“ ya…. Hai “
“ hari ini kamu lembur ya ?” Tanya Arnold padaku
“ tidak, inikan hari pertama aku kerja, ya jelaslah belum lembur”
“ kalau begitu, sore aku jemput ya “ ucapnya padaku
“ kemana ?”
“ ikut saja..“ jawabnya
Arnold menutup teleponnya. Ada-ada saja kamu. Lepas jam istirahat aku kembali keruang kerja dan mempelajari file-file yang diberikan padaku. Semangat Raya.
* * *
            Aku melirik jam tanganku, jam tiga lewat seperempat. Semua staf kantor berbondong-bondong pulang. Aku bersiap-siap pulang. Sebelum turun kebawa, aku menyempatkan diri ke toilet untuk berbenah. Arnold akan mengajakku, jadi aku harus rapi sedikit. Setelah merapikan pakaian, rambut dan mencuci muka agar terlihat lebih segar, akupun beranjak keluar kantor. Sampai didepan kantor aku menunggu Arnold. Beberapa menit kemudian, Arnold pun datang. Aku lalu melambaikan tangan padanya.
            “ hai.. sory telat” ucapnya ketika pertama kali melihat wajahku
Akupun tersenyum padanya
“ iya nggak apa-apa, oh ya Ar, kita mau kemana sih ? kalo acaranya resmi, balik ke rumahku dulu deh, aku ganti baju supaya rapi dikit” kataku padanya
“ bukan acara resmi, kita berangkat sekarang “
Akupun menuruti kata-katanya. Dia menyodorkan helm buatku. Kami pun melintasi jalan sudirman. Motor Arnold bergerak pelan melintasi jalanan ini. Sesekali ia melihatku kebelakang. Ternyata, Arnold mengajakku kerumahnya. Memangnya ada apa ya ? apa mamanya yang meminta Arnold untuk membawaku kesini ?
Ketika melewati ruang tamu. Tante Rosaline menyambutku dengan ramah
“ halo sayang, selamat sore ? apa kabar ?” Tanya Tante Rosaline senang
“ sore juga tante, kabar baik” jawabku
“ ayo mari duduk, tante ambilkan minum ya “
“ iya tante, makasih banyak, Raya merepotkan “
            Akupun duduk di atas sofa. Arnold duduk disampingku, ia lalu menunjukkan foto-foto keluarganya, dan foto waktu ia masih kecil. Arnold lucu badannya gendut, aku tertawa melihatnya. Arnold bercerita kalau mamanya sering menegurnya karena berat badan. Buktinya sewaktu Smp berat badan Arnold lebih dari berat badan wajar anak seumurannya. Ketika kami sibuk melihat foto, Tante Rosaline datang bersama Papa Arnold dan Juga Ronald adik Arnold. Aku langsung kikuk dengan suasana seperti ini. Aku pun tersenyum, rasanya benar-benar tidak enak, jantungku berdegup semakin kencang, aku menggenggam tanganku kuat-kuat.
            “ nah, sayang. Ini papa Arnold Om Joseph dan ini Ronald adik Arnold ” kata tante Rosaline padaku
            Aku mengulurkan tangan pada Om Joseph. Dia menyambutnya hangat, kulihat senyum yang tergambar di wajahnya. Setelah itu kulakukan hal yang sama pada Ronald, dia juga tak kalah senang melihatku.
            “ anggap rumah sendiri ya nak jangan sungkan apalagi canggung. Semua orang dirumah ini senang menerima kamu” Om Joseph membuka suara.
            “ iya om makasih banyak” jawabku
            “ kak Raya manis deh “ goda Ronald
            “ jangan goda-goda pacar kakak dong “ tegur Arnold
            Semua orang tertawa. Aku berujar dalam hati, seandainya suasana seperti ini bisa aku rasakan dirumah. Tapi itu tidak mungkin, makan malam kemarin saja terlihat biasa. Seandainya mama dan bapak bisa menerima Arnold seperti keluarga Arnold menerima keberadaanku pasti rasanya senang sekali. Tuhan, aku berharap itu darimu, andai saja mama dan bapak bisa menerima Arnold. Apalagi hanya mereka satu-satunya harapan untuk menyatukan hubunganku dengan Arnold. Apa sulitnya mengabulkan satu permintaan yang terakhir untuk putri tunggalnya ?
            Bahagia sekali menikmati jam-jam bersama keluarga Arnold, sikap mereka membuat aku membuka mata, bahwa mereka bisa menerima keadaanku yang berbeda dengan mereka. Tapi mereka tetap menghargai dan memberi ruang untuk hubungan kami. Andai saja…
            “ Om, Tante. Raya pamit pulang ya.. sudah malam, takut mama nyariin dirumah ” kataku
            “ iya, Arnold antar kamu ya nak ” kata tante Rosaline
            “ lagipula ini kan sudah malam, bahaya kalau kamu pulang sendiri “ lanjut Om Joseph
            Akupun mengangguk. Akhirnya aku pulang diantar Arnold. Sebelum pulang aku minta uizin kepada orang tua Arnold dan adiknya.
* * *
Sore ini Arnold menjemputku lagi dikantor. Tapi dia terlihat sedikit berbeda, sidikit bicara, tidak seperti biasanya. Motor melaju pelan, tak ada suara sedikitpun yang keluar dari bibirnya. Kuberanikan diriku untuk bertanya.
            “ kamu kenapa diam saja ? “
            “ hm, tidak apa-apa Raya ?”
Aku menepuk pundaknya
“ Arnold kita sudah berjanji untuk bicara, kamu tidak lupa kan ?”
“ iya....”
Aku diam, mungkin aku yang berlebihan menilai sikapnya. Ada apa lagi Arnold ? Tiba-tiba hujan turun, Arnold mencari tempat berteduh untukku. Akhirnya kami berteduh di halte bus yang kosong. Arnold memarkir motornya dan berlari ke halte bus. Aku mengusap-ngusap wajah dan pakaianku yang basah. Tiba-tiba Arnold mendekat dan menepuk bahuku. Aku mengangkat wajahku dan memandang wajahnya.
“ Raya, kamu tau satu-satunya hal yang aku takutkan adalah kehilangan waktu dengan kamu” kata Arnold
Aku diam, entah apa maksud kata-katanya tadi. Kualihkan pandanganku ke air hujan yang menitik sejak tadi. Dan mencoba untuk tersenyum untuknya. Apa kamu tahu, kehilanganmu adalah hal yang paling aku takutkan. Kau tahu persis Arnold bahwa aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri. Aku kembali menatapnya ada ketakutan yang jelas tergambar diwajahnya. Aku bisa memahami itu, aku tahu itu. Tapi penentu hubungan ini hanya takdir, bukan kamu atau aku. Jika ia berpihak pada kita maka semuanya akan jadi nyata. Dan kau tahu satu-satunya doa yang aku kirim untuk Tuhanku adalah memintanya agar kau dan aku bisa bersatu.
Aku menyentuh wajahnya dan tersenyum. Kau pasti bisa membaca hatiku, sampai kapanpun hati ini akan tetap jadi milikmu.
“ pulang sekarang ya Ray, mumpung hujannya mulai reda, mama kamu pasti nyariin ini sudah jam spuluh lewat” ucap Arnold padaku.
Aku mengangguk menuruti kata-katanya. Kami melaju di bawah rintik air hujan yang masih turun kepermukaan bumi. Jarak rumahku semakin dekat, dekat dan akhirnya sampai tepat depan rumahku. Akupun turun dari motor. Arnold pun berpamitan pulang. Aku menatapnya sampai hilang dari pandanganku. Arnold, panggilku dalam hati. Kulangkahkan kakiku masuk kedalam rumah, semoga saja orang rumah sudah tidur.
Kubuka pintu rumah. Aku tersentak melihat bapak duduk di ruang tamu. Mama buru-buru menghambur ke hadapanku.
“ ganti baju setelah itu, kembali kesini, bapak mau bicara” ucap bapak tanpa ekspresi
Akupun menuruti kata-katanya, setelah berganti baju, aku kembali keruang tamu dan duduk didepan bapak. Tak ada suara yang terlontar dari mama, aku heran. Sebenarnya apa yang terjadi ?
“ Raya, sejak kapan kamu dan Arnold dekat ?”
Aku tersentak, takut rasanya menjawab pertanyaan itu.
“ Raya, bicara nak”
“ sudah empat tahun Pak” jawabku
“ mulai besok kamu tidak usah lagi bertemu dengan dia, ingat Raya. Ingat iman kamu nak, bapak minta, mulai detik ini putuskan hubunganmu dengan Arnold. Ini tidak dibenarkan Raya”
Aku tersentak,  akhirnya, semua ketakutanku menjadi nyata. Perpisahan itu sudah didepan mataku. Ya Allah, apakah hanya sampai disini aku bisa bertahan ?. apakah aku akan benar-benar terpisah darinya ? kata-kata bapak seperti petir yang meledak-ledak dikepalaku. Tuhan beri aku kekuatan. Setelah bicara padaku, bapak bergegas meninggalkan ruang tamu tanpa melihat wajahku lagi, sakit rasanya melihat bapak bersikap seperti itu. Hatiku sakit, tolong aku Tuhan, pekikku dalam hati. Aku tak sadar sejak kapan aku menangis. Air mataku jatuh begitu saja. Tubuhku lunglai jatuh kelantai dan menopang di sudut kursi. Aku menatap mama diujung kursi, dia diam tak bersuara. Mama aku mohon pintaku dalam hati. Mama hanya mengeleng, lalu meninggalkan aku sendirian. Bapak, Mama aku mencintai dia, sangat mencintainya, aku rela mengorbankan apapun untuknya. Tolong mengertilah. Aku tak punya kekuatan lagi untuk berdiri. Duniaku berhenti disini. Arnold, apa yang harus aku lakukan ?
* * *